Februari 25, 2008

Dilarang Mencintai Bunga-bunga Kuntowijoyo

Ayah baru saja dipindahkan ke kota ini setelah bertahun mengajukan permohonan. Katanya, supaya aku mengenal hidup lebih luas, tidak terkurung dalam lingkungan dusun yang sempit. Sehari setelah kami pindah, ayah sudah mulai bekerja dan sore hari baru ia kembali. Ayahku tampak lebih segar sekarang. Badannya tinggi besar dan kukuh, tidak terlelahkan oleh kerja apapun. Bukan main senang hati ayah, mendapat pekerjaan di kota. Ayah sibuk dengan pekerjaan, karena, malas adalah musuh terbesar laki-laki, kata ayah. Benar, di desa kita banyak tetangga, tetapi mereka membuat banci pikiran. Dan itu ayah tidak suka. Kesibukan ayah membuatnya tidak mengenal tetangga, hanya ibu sudah mulai banyak kawan, seperti biasanya ibuku di mana pun kami ditempatkan. Ayahku mengangguk saja pada orang sekitar bila kebetulan berpapasan, lalu buru-buru masuk rumah. Ibu sudah sering mendesak agar ayah suka bergaul dengan masyarakat. Kita hidup bersama-sama orang lain, kata ibuku. Namun, kami sekeluarga belum mengenal tetangga kami yang terdekat.
Kabarnya yang tinggal di rumah tua berpagar tembok tinggi ialah seorang kakek yang hidup sendiri. Rumah itu terletak di samping rumahku. Pagar tembok tinggi menutup rumahnya dari pandangan luar. Hanya ada pintu masuk dari muka, ditutup dengan anyaman bambu yang rapat. Aku belum pernah melihat kekek itu. Setelah kucoba naik ke pagar tembok, melalui pohon kates di pekaranganku, terbentanglah sebuah pemandangan: sebuah rumah Jawa, bersih seperti baru saja disapu, dan alangkah banyak bunga-bunga di tanam! Hari itu aku belum berhasil melihat penghuninya. Tidak pernah seharian penuh aku di rumah, ibuku menyuruh aku pergi sekolah pagi dan sore hari harus mengaji. Hari-hari minggu pertama habis untuk mencari saudara-saudara baru di kota ini.
Keinginanku untuk mengenal kakek itu tidak pernah padam. Kau lihatlah, lubang-lubang pada pagar anyaman bambu itu akibat perbuatanku. Aku mengerjakannya di siang hari sepulang dari sekolah. Pernah aku mengintip-intip pintu pagar dari bambu itu kawanku menegur:
“Sedang apa kau ini. Hati-hati dengan dia. Sebentar lagi tanganmu sakit. Tunggu sajalah.”
Ketakutan menyerang aku. Apakah aku akan sakit karena mencoba membuka pintu pagar rumah ini?
“Siapa bilang,” kataku berani.
“Semua orang,” jawabnya. “Kau kuwalat. Dia keramat.”
Aku ditinggalkannya, berdiri dekat pagar itu. Ketakutan mendesak-desak. Aku lari pontang-panting ke rumah. Ayahku sudah duduk di kursi dengan selembar koran. Aku tenang kembali. Baru sadar bahwa tas sekolahku tertinggal di pagar rumah samping itu. Sore hari aku memberanikan diri untuk mengambil tas yang tertinggal. Dan tas itu masih di sana! Tidak di mana pun di dunia, kecuali di pintu pagar itu, sebuah tas berharga akan selamat dari incaran orang.
Tentang kejadian itu kawanku mengatakan, tidak seorang pun berani mengambil, itu sudah pasti. Siapakah orang yang mau membunuh diri dengan upah sebuah tas sekolah? Lebih susah mencari sebuah nyawa daripada sebuah tas sekolah. Tidak satu pun toko menjual nyawa, tetapi semua toko menjul tas. Tentu saja!
Sejak itu niatku untuk mengetahui agak reda. Menyelidiki dengan mata sendiri berbahaya. Tinggalah aku bertanya pada orang-orang lain. Keterangan orang tidak begitu jelas. Orang mengatakan, sekali seminggu ia keluar berbelanja. Orang lain mengatakan, ia berbelanja sekali sebulan. Orang mengatakan, ia mempunyai anak di kota lain. Orang lain mengatakan, ia tidak beristri. Tidak seorang pun tahu dengan tentang dia.
Barangkali di antara kawan bermain hanya akulah yang mempunyai keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang kakek itu. Kawan lain sudah tidak acuh lagi. Aku sudah bosan bertanya, selain mereka tidak memberi keterangan jelas, juga mereka akan mengejekku dengan mengatakan, “Biarlah kau jadi cucunya!”
Pernah pula aku bertanya pada ayahku. Ayahku melemparkan koran dari tangannya dan meninggalkan aku. “Untuk apa, heh,” jawabnya. Itu adalah ucapan ayah yang sering kudengar. “Bertanyalah tentang lokomotif. Jangan tentang kakek-kakek sebelah rumah.” Aku sendirian saja di dunia, dengan keinginanku untuk mengetahui.
Tiba-tiba aku pun mengenalnya dari dekat! Begini. Pada musim layang-layang, angin bertiup kencang. Jalanan muka rumahku tidak banyak kendaraan. Polisi membiarkan anak-anak main layangan di situ. Kami suka berkumpul pada sore hari. Di bagian ini angin bebas berjalan, pepohonan tidak banyak.
Jumat sore hari aku tidak mengaji. Di tanganku sebuah layang-layang buatanku yang terbagus, dengan benang gelasan. Udara meruah menerbangkan layang-layangku. Dari kampung lain menyembul pula layang-layang lain. Layang-layangku terputus. Kawan-kawan bersorak dan lari mengejar. Itu layang-layangku terbagus, aku berdiri saja memandanginya. Tiba-tiba pundakku terasa dipegang. Aku terkejut. Seorang laki-laki tua dengan rambut putih dan piyama. Ia tersenyum padaku.
“Jangan sedih, Cucu,” katanya. Suara itu serak dan berat. Sebentar darahku tersirap. Aku teringat rumah tua berpagar tembok tinggi. Mataku melayang padanya. Di tangannya setangkai bunga berwarna ungu. Tubuhku menjadi dingin.
“Jangan sedih, Cucu. Hidup adalah permainan layang-layang. Semua orang suka hidup. Tidak seorang pun lebih suka mati. Layang-layang bisa putus. Engkau bisa sedih. Engkau bisa sengsara. Tetapi engkau akan terus memainkan layang-layang. Tetapi engkau akan terus mengharap hidup. Katakanlah, hidup itu permainan. Tersenyumlah, Cucu.”
Ia menjangkau tangan kananku. Membungkuk. Dan tanganku dicium. Aku tidak berdaya. Bunga itu dipindahkannya di tanganku. Aku menggenggamnya. Seolah dalam mimpi.
Ia menarik tanganku. Dab aku mengikutinya. Di tangan kananku setangkai bunga.. ketika aku sempat menyadari, kulihat pintu pagar rumah itu. Pasti, dialah kakek itu! aku menjerit sekerasnya. Teriakan itu tersumbat di tenggorokan. Aku meronta. Ia memanggilku lebih keras. Tertawa terkekeh. Aku meronta, dan tertawanya serak alangkah kerasnya.
Ibu membawaku pulang. Aku tidak begitu sadar, tiba-tiba ibu sudah menuntun aku. Di rumah kulihat ayah membaca di kursi. Aku merasa tenang. Aku merasa malu.
“Untuk apa teriak-teriak, heh,” kata ayah menyambut.
Ayah mengamati aku dari atas ke bawah. Ia berdiri dan menjangkau tangan kananku. Katanya:
“Untuk apa bunga ini,heh.”
Aku tidak tahu karena apa telah mencintai bunga di tanganku ini.
Ayah meraih. Merenggutnya dari tanganku. Kulihat bungkah otot tangan ayah menggenggam bunga kecil itu. Aku menahan untuk tidak berteriak.
“Laki-laki tidak perlu bunga, Buyung. Kalau perempuan, bolehlah. Tetapi engkau laki-laki.”
Ayah melemparkan bunga itu. Aku menjerit. Ayah pergi. Ibu masih berdiri. Aku membungkuk, mengambil bunga itu, membawanya ke kamar. Tangkai bunga itu patah-patah. Selembar daun bunganya luka. Aku menciumnya, lama, lama sekali.
Malam itu aku tidak mau makan. Ibu masuk kamar dan membujuk.
“Tentu saja kau boleh memelihara bunga. Bagus sekali bungamu itu. itu berwarna violet. Bunga itu anggrek namanya. Aku suka bunga. Kuambil vas, engakau boleh mengisinya dengan air. Dan bunga ini ditaruh di dalamnya. Kamar ini akan berubah jadi kamar yang indah! Setuju?”
Ketika aku bangun pagi, aku merasa telah berteman baik dengan kakek itu. Aku ingat betul: tangan kurus dengan otot menonjol, rambut putih, suara serak. Berangkat sekolah aku lewat di muka pintu pagarnya seperti biasa, tetapi dengan perasaan bersahabat. Kepada pintu pagar itu aku tersenyum, maksudku pada kakek, sahabatku yang baru. Aku merindukannya.
Aku mencari-cari kesempatan untuk bertemu dengan kakek. Pulang sekolah aku memanjat tembok pagar dari sebuah pohon kates. Berjalan mondar-mandir di atasnya. Mengintai rumah tua itu. sesaat aku melihat kakek di dalam rumah itu. dan sungguh tak terduga, ia keluar. Ia berdiri di bawah, dekat tempatku di atas tembok, tersenyum. Ia seorang yang ramah, baik hati, penyayang anak.
“Turunlah, Cucu. Ada sebuah tangga. Tunggulah.”
Aku turun dengan sebuah tangga, untuk pertama kali, di pekarangan rumah sebelah. Kakek tertawa terkekeh. Ia mengelus kepalaku. Meniup dengan mulut di ubunku.”Engkau akan jadi orang, Cucu. Aku yakin. Matamu menunjukan itu!”
Tanganku dibimbing. Kakiku berjalan dengan langkah cepat mengikutinya. Kami duduk di ruang tengah. Ada kursi-kursi di sana. Aku dimintanya duduk di sampingnya.
“Duduklah, Cucu di samping kakek. Nah, siapa namamu?” Aku sebutkan namaku.
Mataku melayang ke sekitar. Semuanya penuh bunga. Aku menatap wajah kakek, kerut-merut kulit tua. Kataku:
“Banyak sekali bunga, Kakek?”
“O, ya. Banyak. Aku suka bunga-bunga.”
“Belum pernah kulihat sebelumnya.”
“Tentu saja. Kenapa tidak sejak dulu datang ke sini?”
“Kenapa tidak kakek datang ke rumahku.” Ia tertawa, mengusap kepalaku.
“Pintar, ya. Kau sering memanjat pagar itu bukan?”
“Ya.” Ternyata kakek mengetahui tingkahku. “Siapa memberitahumu?”
“Mataku, Cucu.”
“Hanya untuk melihat-melihat saja, Kek.” Ia tertawa, terguncang badannya.
“Tentu saja aku tahu. Kau anak baik, Cucu. Karena mata batinku lebih tajam dari mata kepalaku.”
Aku mulai tenteram duduk di sampingnya. Tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan. Kami bersahabat baik. Entahlah, rasanya sangat menyenangkan duduk bersamanya di sini. Bayanganku yang lama hilang. Aku merasa kerasan. Agak dingin udara di sini, angin sejuk, bunga-bunga merah, biru, kuning, ungu. Daun-daun hijau. Kumbang terbang antara bunga-bunga. Tanah basah. Daun bergoyang, bayang-bayang matahari. O, ya. Ayam jantan berkeliaran antara bunga-bunga. Berbulu indah ia berlari memburu betina. Di pojok keduanya berhenti. Kakek menarik napas panjang.
“Istriku sudah tidak ada lagi, Cucu. Di sini aku hidup sendiri. Aku punya anak cucu. Tetapi mereka jauh di kota lain. Maukah kau menjadi cucuku, sahabat kecilku?”
Aku mengangguk.
“Jangan khawatir, Cucu. Anggaplah di sini rumahmu. Datanglah ke sini bila kau senggang. Terimalah kakekmu, ya. Kita bisa duduk di sini. Melihat tanaman. Aku punya banyak bunga di sini. Hidup harus penuh dengan bunga-bunga. Bunga tumbuh, tidak peduli hiruk-pikuk dunia. Ia mekar. Memberikan kesegaran, keremajaan, keindahan. Hidup adalah bunga-bunga. Aku dan kau salah satu bunga. Kita adalah dua tangkai anggrek. Bunga indah bagi diri sendiri dan yang memandangnya. Ia setia dengan memberikan keindahan. Ia lahir untuk membuat dunia indah. Tataplah sekuntum bunga, dan dunia akan terkembang dalam keindahan di depan hidungmu. Tersenyumalah seperti bunga. Tersenyumalah, Cucu!” Dan aku tersenyum. Pikiranku melambung jauh, ke sebuah dunia yang asing, penuh rahasia dan mengasyikkan.
Siang itu kami bermain-main diantara bunga-bunga. Kakek bercerita banyak tentang bunga. Satu persatu menguraikan dari mana bibit bunga, memelihara, mengawinkan. Kami asyik sekali. Pengetahuannya tentang bunga sungguh mengagumkan. Bunga-bunga tanaman kakek memenuhi halaman muka, sampai belakang, dan di dalam rumah. Rumah itu adalah taman bunga.
“Rumah ini,” katanya, “sebagian kecil dari sorga.” Sore itu aku pulang dengan bunga-bunga di tangan. Aku kembali lewat pagar tembok. Kakek mengantarku ke tangga, memegangku erat. “Hati-hati, Cucu,” dan ia menepuk pantatku pelan. Di atas pagar aku berdiri, mencium bunga di tangan. Melambai pada kakek lalu menuruni pohon kates. Aku berlari kecil menyembunyikan bunga.
Sampai di pintu, ayahku sudah berdiri di sana. Aku tersadar, hari sudah sore dan lupa mengaji.
“Engkau harus mengaji, tahu. Dari mana?” ayah menegur dengan suara berat dan dingin.
Aku berdiri saja. Ingin aku menyembunyikan setelitinya bunga-bunga di tanganku. Ayah terlanjur melihat. Aku diam. Ayah tidak suka dibantah.
“Kau pergi mencari bunga-bunga itu. Untuk apa, heh.”
Tenggorokanku tersumbat. Aku diam-diam. Tidak berani menatap wajah ayah.
“Dimana dicari?”
Tetapi aku harus menyembunyikan dari mana asal bunga-bungaku.
“Di sungai, Yah,” kataku membohong.
Ayah merampas bungaku. Dan membuangnya ke sampah. Perasaan yang kemarin datang lagi. Aku ingin mengambilnya kembali.
“Engkau mulai cengeng, Buyung. Boleh ke sungai, untuk berenang, bukan mencari bunga.”
Setelah lewat dari pengawasan ayah aku menjemput bunga itu dari sampah, dan kubawa ke kamarku.
Ya, harus berhati-hati dengan ayah. Dengan ibu aku baik-baik saja. Ibuku kurasa sangat senang, aku menjadi kerasan di rumah. Di kamarku selalu terlihat vas dengan bunga-bunga. Ayah belum pernah memerlukan menjenguk kamarku. Itu menyenangkan, ayah terlalu sibuk untuk mencampuri urusanku.
Aku mulai segan bertemu dengan ayah. Seperti ada orang lain dalam rumah bila ayah di rumah. Kehadiran ayah menjadikan aku gelisah. Pasti, ayah akan datang dengan baju bergemuk. Kotor, seluruh badan berlumur minyak hitam. Bungkah-bungkah badan menonjol. Terasa rumah jadi bergetar oleh kedatangan ayah. Kadang kulihat ayah menggosokan tangan kotor itu pada dagu ibu, ibu tersenyum, sementara aku sangat kasihan.
Kalau ayahku pulang, aku cepat ke kamar. Di kamar menatap bunga-bunga sangat lain dengan melihat wajah ayah. Menggelisahkan bila ayah memanggilku. Tetapi bila ia memerlukanku, pastilah aku cepat menghadap, sebab aku selalu tinggal di kamar.
Beberapa hari berlalu. Sejak hari yang malang itu aku berhati-hati. Aku tahu kapan ayah biasanya pulang kerja. Dan waktu itu aku berusaha di rumah. Pergi ke rumah sahabat tuaku yang baik itu harus pada waktu setepatnya. Kukira ayah ibu tidak mengetahui tingkah lakuku. Satu kali ayah memanggilku. Aku keluar dari kamar.
“Dari mana?” ia bertanya.
“Di rumah, di kamar.”
“Untuk apa di kamar, heh. Laki-laki mesti di luar kamar!”
Ayah menyuruh ibu, supaya aku disuruhnya bermain di luar. “Engkau mesti memilih permainan yang baik,” kata ibuku. “Ayahmu menyuruhmu main bola. Atau berenang. Kalau tidak mau, kau akan dibawanya ke bengkel.” Dan beberapa hari kemudian, sebuah bola kaki dari kulit yang bagus tersedia di rumahku. Ayahku menyediakan pula sebuah alat olah raga. Ayah memberi contoh bagaimana memakainya. Tetapi mengangkatnya saja aku tidak berdaya.
Bagiku sungguh enak tinggal di kamar. Kawan-kawan datang mengajakku bermain. Tetapi aku menolak. Permainan hanya bagi kanak-kanak. Apakah yang lebih menyenangkan dari pada bunga dalam vas?
Sahabatku yang terdekat ialah kakek. Kami banyak bertukar pikiran. Sungguh ia orang tua yang pandai. Pasti aku mengunjunginya setiap hari. Bagiku tidak ada kewajiban lain yang mengikat kecuali ke sekolah dan mengaji. Selebihnya untuk kami berdua, aku dan sahabat tuaku. Ayah ibu akan memarahi aku apabila aku melupakan sekolah atau mengaji. Ayahku akan memanggil aku. Disuruhnya aku menyaksikan wajahnya. Sebuah neraka terlintas dalam kepalaku bila Ayah marah. Pada kakek lain sekali. Orang tua itu hanya dapat tersenyum. Ia jauh lebih baik hati daripada ayah. Ia, katanya selalu, memandang dunia dengan senyum di bibir dan ketenangan jiwa.
Suatu hari aku ke sana. Hari itu siang. Aku duduk di ruang depan seperti biasa. Ada sebuah jamban dengan bunga di dalamnya. Bunga-bunga mengapung di atas air bening. Jambangan itu sangat bagus. Seperti dari kaca dengan ukiran. Diletakkan pada sebuah meja rendah dengan empat kaki. Kakek menatap bunga-bunga itu katanya:
“Katakanlah, Cucu. Apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa?”
“Tidak ada, kakek,” kataku, keluar begitu saja dari kesadaranku. “Tidak ada yang lebih dari itu.”
“Bagus. Tidak kusangka kau akan sepandai ini, Cucu.” Ia menepuk pundakku. Kemudian membenarkan letak duduknya dan kembali menatap bunga-bunga itu.
“Segalanya mengendap. Cobalah lihat, cucu. Bunga-bunga di atas air ini melambangkan ketentraman, ketenangan dan keteguhan jiwa. Di luar matahari membakar. Hilir-mudik kendaraan. Orang berjalan ke sana kemari memburu waktu. Pabrik-pabrik berdentang. Mesin berputar. Di pasar orang bertengkar tentang harga. Tukang copet memainkan tangannya. Pemimpin meneriakan semboyan kosong. Anak-anak bertengkar merebut layang-layang. Apakah artinya semua itu, Cucu? Mereka semua menipu diri. Hidup ditemukan dalam ketenangan. Bukan dalam hiruk-pikuk dunia. Tataplah bunga-bunga di atas air itu. hawa dingin menyejuk hatimu. Engkau menemukan dirimu. Engkau akan tahu, siapakah dirimu. Katakanlah, apakah yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin, Cucu.”
Aku mendengarkan sebaik-baiknya. Ia mengatur nafas. Lalu berdiri.
“Nah, sudah sampai waktunya kita jalan-jalan!” Kami berjalan. Menerobos pohon-pohon bunga. Pada setiap bunga kakek menjentik, tertawa. “Bagus. Bagus sekali bukan, cucu?” Aku tersenyum. “Ya, dunia ini indah seperti bunga mekar. Membuat dunia tenang. Ini dunia kita!”
Siang itu aku pulang dengan bunga-bunga di tangan. Menaiki tangga, meloncati pagar tembok. Sampai di rumah aku mengambil sebuah panci dari dapur ibu, memasukkan air sebanyak-banyaknya. Hati-hati kubawa ke kamar. Kutaruh di kamarku, dekat pintu. Bunga mawar kutaruh di atas air. Bunga itu mengambang di atas air. Bayang-bayang melekat di dalam air. Sebagian bunga itu tercelup dalam air, menimbulkan lekuk di permukaanya. Warna merah di atas bening air! Air itu bening dan tenang. Dan bunga-bunga itu! Matamu tak akan terpejam menatapnya! Aku duduk di kursi. Sebuah kesejukan yang lambat-lambat masuk dalam jiwaku. Aku berdamai dengan kehidupan. Apa yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin? Sungguh bersyukur, berkenalan dengan kakek itu.
Ibu masuk ke kamarku. Panci itu di muka pintu, tidak luput dari pandangannya.
“Makanlah,” katanya. “Tetapi apakah artinya ini?” Ia memandang pada panci dan bunga itu.
Aku menarik nafas panjang. Duduk di atas kursi. Kataku sabar:
“Ibu. Katakanlah. Apa yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan keteguhan batin?”
Ibu berdiri kaku. Memandangku seperti bukan anaknya. Mataku ditatapnya denagan dalam-dalam. Aku tahu. Ibuku terkejut. Kelakuanku bagi ibu adalah sesuatu yang baru. Tentu saja, karena ibu datang dari dunia hiruk-pikuk. Ia memandang seperti tidak mengenal. Mengamati aku penuh perhatian. Aku adalah manusia baru. Ibu memanggil namaku. Aku menjawabnya dengan sopan. Ia memanggil lagi. Dan aku menjawab sebaik-baiknya. Kemudian ibu pun pergi. Masih sempat kulihat: mata ibu merah seperti menangis. Kukira ibu sedang sedih. Kenapa harus sedih? Aku mengikutinya. Ibu duduk dekat tungku dapur dengan muka menunduk. Pasti ia sedih, untuk apa bersedih, ibu? Aku mendekat, kataku:
“Ibu kenapa sedih? Tersenyumlah. Hidup adalah permainan.” Ibu diam. “Engkau bisa sengsara. Tetapi sadarlah, hidup adalah permainan. Ketahuilah, sesungguhnya.” Aku berhenti bicara. Ibu memutar badannya. Katanya memerintah:
“Pergi ke kamar, kataku!”
Aku pun pergi ke kamar. Menanti hari sore. O, ya. Sore hari itu aku pergi mengaji ke masjid. Tidak lupa aku membawa sekuntum melati di saku. Itu mententramkan jiwa. Setiap kali aku dapat mengeluarkannya dan mencium sepuasku. Pengajian itu bernama Al Ma’aruf, artinya kebaikan. Mereka belajar mejadi baik. Tetapi sebutlah, siapa di antara mereka mempunyai ke tenangan jiwa dan keteguhan batin? Tidak seorang pun, kecuali aku. Sore itu aku duduk di serambi masjid. Siapakah orangnya yang bisa tersenyum melihat anak-anak memperebutkan kelereng dalam permainan? Aku melihat keasyikan itu, anak-anak yang didorong oleh nafsu. Aku tersenyum dalam ketenangan. Jiwaku dikuasai oleh ketenangan batin yang mengasyikan. Tidak ada niatku untuk bermain. Lebih baik duduk tenang, tersenyum memandang hiruk-pikuk dunia.
Ketika aku pulang mengaji, lantai di kamarku penuh air. Dan bunga-bunga itu! Bunga-bunga itu melengket pada ubin dengan basahan air yang merata. Ternyata air itu tumpah. Tiba-tiba ayah memegang kudukku.
“Untuk apa bunga-bunga ini, Buyung?”
Di depan ayahku, aku tak bisa apa-apa. Tangannya yang kasar, penuh nafsu untuk menghancurkan, memegang pundakku. Aku bungkam.
“Ayo, buang jauh-jauh bunga-bunga itu, heh!” Aku membungkuk, memungut bunga-bunga. Dari mataku keluar air mata. Aku menangis, bukan karena takut ayah. Tetapi bunga-bunga itu! Aku harus membuangnya jauh-jauh dengan tanganku! Bunga-bunga itu penuh di tanganku.
“Mana.”
Aku mengulurkan pada ayah. Diremasnya bunga-bunga itu. Jantungku tersirap, menahan untuk tenang.
“Dan bersihkan air ini sampai kering, Buyung.”
Aku baru bebas dari raksasa itu ketika sudah habis mengeringkan lantai.
Sesudah membersihkan kamar, aku meloncati pagar, lalu menangis di pangkuan kakek. Ia mengusap kepalaku. Sahabat tuaku sangat baik padaku.
“Cup, Cucu. Diamlah,” katanya. “Jangan lagi menangis. Kalau nafsu mengalahkan budi, orang tidak mendapatkan ketenangan jiwa. Perbuatannya menjadi kasar, karena dorongan nafsu. Perbuatan itu menimbulkan kesengsaraan. Dunia rusak oleh nafsu. Tenanglah.”Aku mulai meredakan tangisku.
“Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. Kenapa tidak tersenyum, Cucu. Tersenyumlah. Bahkan sesaat sebelum seseorang membunuhmu. Ketenangan jiwa dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan, menglahkan, bahkan kematian.
Aku sadar menangis ialah kesia-siaan. Aku tersenyum. Kakek menghapus air mata dari kulit-kulit mukaku. Saputangannya semerbak wangi bunga. Aku menghirup sekuatnya wewangi itu. dan, habislah penderitaanku.
“Kalau jiwamu tenang, perbuatanmu sopan. Kalau jiwamu gelisah, perbuatanmu kasar,” kakek mencium ubun-ubunku.
Aku segera pulang. Pastilah ayah akan menghukum bila tahu aku meloncat ke rumah sebelah. Aku kembali ke kamar melalui jendela. Menutup pintu rapat-rapat. Ayah tidak akan banyak tahu apa yang kukerjakan. Sampai sore ia di bengkel. Malam hari sehabis makan, ada saja kerjaanya. Atau tidur. Hanya ibu di rumah, dan ia lebih halus daripada ayah. Tidak usah cemas menghadapi Ibu.
Tampaknya ibu sangat senang padaku, karena aku mulai bertingkah halus. Kamarku selalu bersih.
Tersedia bunga-bunga. Setidaknya dengan usaha keras agar ayah tidak sempat melihat. Aku sudah punya jambangan bunga sendiri. Tidak menggangu lagi alat rumah tangga ibuku. Tempat tidurku rapi. Mesuklah ke kamarku, kapan saja. Bau harum bunga. Dan matamu takkan puas-puasnya menikmati warna indah bunga-bunga.
Aku baru di dalam kamar, pada suatu siang, ketika ibu dengan tergesa masuk. Ibu berkata dengan gugup:
“Keluarlah cepat. Peganglah apa saja. Apa atau apa. Cepatlah.”
Aku tidak tahu maksud ibuku. Terpaku saja. Dan dia di depanku telah berdiri ayah dengan baju kotor. Tubuh berlumuran gemuk. Bau anyir minyak memenuhi kamar. Sebuah mobil menderu di jalan, berhenti di muka pagar pintu rumahku.
“Buyung, coba mana tanganmu? Keduanya!”
Aku mengulurkan tanganku. Putih bersih. Lambang ketenangan batin dan keteguhan jiwa. Sayang, ayah menangkap tanganku. Kulihat saat gemuk mengotori telapak tanganku.
“Tanganmu mesti kotor seperti tangan bapamu, heh!”
Ayah meratakan gemuk di tangannya pada tanganku. Aku tidak melawan. Ayahku adalah nafsu. Aku tersenyum. Ibu berdiri saja, ia tidak berbuat apapun. Aku makin lebar tersenyum. Kulihat ibuku pucat ketika memandangku. Kenapa ibu pucat begitu, tersenyumlah!
Tanganku kotor sampai lengan. Ayah menampar kedua pipiku katanya, “Untuk apa tangan ini, heh,” ia mengangkat kedua tanganku dengan kedua tangannya. Aku tidak tahu, jadi diam saja.
“Untuk kerja! Engkau laki-laki. Engkau seorang laki-laki. Engakau mesti kerja. Engkau bukan iblis atau malaikat, Buyung. Ayo, timba air banyak-banyak. Cuci tanganmu untuk kotor kembali oleh kerja. Tahu!”
Kulihat kembali tanganku, kotor. Ayah pergi dengan mobil yang di depan itu. ibuku menatapku, sementara aku belum menyadari apa yang terjadi, katanya, “Turutlah ayahmu, Nak.”
Aku suka kebersihan. Mencuci tangan adalah baik. Aku lari ke sumur. Terbayang: ayahku, kakek, ibuku.
Aku membawa sebagian air ke kamar, untuk jambangan bungaku.
Ayahku membawa alat-alat bengkel ke rumah. Di pelataran rumahku dipasang sebuah gubuk. Alat-alat itu ditaruh di sana. Ayah mulai pulang pada siang hari. Sehabis makan ia bekerja di bengkel muka rumah, memukul-mukul besi. Seperti dalam bengkel, rumahku menjadi gaduh. Kawan-kawan ayah membantunya, lalu ramailah seluruh rumahku dengan pukulan-pukulan besi. Sekali ayah membawa dinamo dan dung-dung-dung mesin itu memenuhi udara.
Sekali –kali ayah memerintah padaku.
“Buyung. Berdiri kau di situ. Lihatlah mereka yang membantu dunia.” Aku akan berdiri, mengawasi kesibukan. Keringat. Gemuk. Tangan berotot. Baju kotor. Gemuruh besi. Telingaku bising. Kubayangkan: orang yang gelisah dalam hidupnya.
Pada kesempatan yang tak terlihat oleh ayahku aku akan lari ke kamar, menutup pintu menatap bunga-bungaku. Lupalah aku, di luar orang berkeringat. Kesibukan itu sungguh memuakan. Kalau aku masih terganggu di kamar, aku akan melompat lewat jendela. Menuju ke pagar. Dan kukatakan pada kakek, “Dengar hiruk-pikuk itu, Kakek?”
“Jangan hiraukan, Cucu. Biarlah orang gelisah. Engkau dan kau di sini. Dikelilingi bunga-bunga. Dua buah cahaya menyala dalam kepekatan malam.” Waktu itu siang hari. Barangkali kakek salah menyebut. Kataku:
“Tetapi, apakah malam hari, Kek?”
“Segala nafsu adalah malam yang gelap.”
“Ya. Dan perbuatan kita mencerminkan ketenangan jiwa.”
“Dan keteguhan batin!” aku segera menyahut.
Kami menyusuri kebun bunga. Hiruk-pikuk di rumahku terdengar pula dari sini. Tetapi kata kakek “Tidak terdengar oleh telinga batin kami.”
Ternyata ayah mengetahui tingkahku. Jambangan bunga pecah. Bunga bercecer. Air mengalir ke seluruh kamar. Aku tersenyum menyaksikan semuanya. Ayahku sudah berdiri dekat.
“Akulah yang memecahkan, Buyung. Untuk apa, heh? Manusia tidak bisa hidup dengan hanya bunga.”
“Ke sini!” Aku menurut dengan ketenangan yang mengagumkan aku sendiri. Ayah memerintah: Engkau harus berdiri di sini. Aku akan membuat sebuah sekrup. Lihatlah. Dan besok kau harus mengerjakan sendiri. Awaslah, kalau tidak bisa.” Aku mengawasi. Masuk ke dalam kepalaku apa yang kulihat. Ayah tahu. Ia menatapku.
“Apa yang kau pikirkan, heh?”
Aku harus berani mengatakan sesuatu. Bahkan pada ayahku. Jadi kukatakan dengan tergagap:
“Ayah. Sesungguhnya tidak ada yang lebih baik dari ketenangan jiwa dan….”
“Diam! Untuk apa, heh? Ayo, pegang palu ini!” Ia menyodorkan palu. “Pukulah besi ini sampai menjadi kepingan tipis. Kerjakan.” Aku mengalah. Palu kupegang. Dan sesore keringatku bercucuran. Tanganku bengkak. Aku terus bekerja, takut pada ayah. Sore hari ayah menyuruhku berhenti. Ibu menyambutku dengan ramah.
“Jangan membantah ayahmu, Nak. Cepatlah mandi. Ah, hampir lupa. Engkau harus mengaji.”
Ayah ialah sebangsa laki-laki kasar. Ia menyita seluruh waktuku. Aku mengunjungi kakek pagi saja sebelum sekolah. Dan itu hanyalah sebentar. Ketika itu kakek sedang menyiram bunga.
Aku menegur.
“Sedang apa, Kak?”
“Menyiram kehidupan, Cucu,” ia menoleh padaku. “Engkau banyak pekerjaan sekarang, Cucu?” Aku mengangguk.
Terlintas dalam kepalaku untuk bertanya sesuatu,
“Apa kerja kakek sebenarnya?”
Kakek berhenti. Mengawasi aku, katanya:
“Sekarang menyiram bunga, Cucu.”
“Ya. Tetapi apa sebenarnya kerja kakek?”
“Pekerjaanku, Cucu,” ia berhenti. “O, ya. Mencari hidup yang sempurna.”
“Di mana dicari, Kek?”
“Dalam ketenangan jiwa.”
“Ya, di mana?”
“Di sini. Dalam bunga-bunga.”
Aku teringat, harus ke sekolah. Cepat minta diri.
Pulang sekolah, ayah menyuruhku kerja di bengkel. Ia tidak membiarkan aku berhenti sekejap pun. Ia akan menegur setiap kali melihatku berhenti. “Bekerjalah. Jangan biarkan tanganmu menganggur, Buyung.” Aku teringat pada kakek.
“Ayah,” aku bertanya, “Kenapa tidak mencari hidup sempurna?” Ayah berhenti. Menatap aku. Ia melihat mataku.
“Ya,” katanya. “Aku mencari itu, Buyung.”
“Di mana dicari, Yah?”
“Dalam kerja.”
“Ya. Tetapi di mana?”
“Di bengkel, tentu.”
Ia berdiri kukuh. Dengan wajah membakar. Aku teringat sebuah lokomotif hitam berdiri kuat di atas rel. Menderu dengan gerbong berdert di belakangnya.
“Engkau mesti bekerja. Sungai perlu jembatan. Tanur untuk meluknakan besi perlu didirikan. Terowongan mesti digali. Dan dibangun. Gedung didirikan. Sungai dialirkan. Tanah tandus disuburkan. Mesti, mesti, Buyung. Lihatlah tanganmu!” Ayah meraih tanganku.
“Untuk apa tangan ini, heh?” Aku berpikir sebentar.
“Kerja!” kataku.
Ayah tertawa gelak. Mencium tanganku. Ia menampar pipiku keras. Mengguncang tubuhku. Kulihat wajah hitam bergemuk itu memancarkan kesegaran. Aku menyaksikan seorang laki-laki perkasa di mukaku. Menciumi aku. Ia adalah ayahku.
Malam hari aku pergi tidur dengan kenangan-kenangan di kepala. Kakek ketenangan jiwa-kebun bunga, ayah kerja bengkel, ibu mengaji-mesjid. Terasa aku harus memutuskan sesuatu. Sampai jauh malam aku baru tertidur.
Bagaimanapun, aku adalah anak ayah dan ibuku.

Sumber:
Dilarang mencintai bunga-bunga, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992.

Februari 05, 2008

WASRIPIN DAN SATINAH KUNTOWIJOYO

Wasripin ingin mencari desa ibunya yang entah di mana. Yang ia tahu hanya desa ibunya berada di dekat pantai. Setelah sampai di dekat pantai ia mencari tempat peristirahatan. Dia tertidur di emperan surau. Sampai ashar, sampai maghrib, sampai isya’. Esoknya orang-orang kampung nelayan berkumpul untuk membangunkannya, tetapi dia hanya tetap tidur. Dia tertidur selama tiga hari dan terbangun pada siang harinya. Kejadian itu menjadi pembicaraan di kampung nelayan. Dan ada yang bilang bahwa ia telah bertemu nabi Hidir di dalam mimpinya. Setelah kejadian ini, maka dimulailah perjalanan hidup Wasripin, dimana dia akan bertemu pak Modin seorang imam surau dan dulu pernah menjabat sebagai perangkat desa tetapi diberhentikan. Satinah seorang penyanyi dan pamannya seorang pemain siter yang buta. Dunia politik, kejahatan, hal-hal yang ghaib dan mistik. Serta fitnah-fitnah yang akan membumbui kisahnya.

Wasripin dan Satinah pertama kali bertemu di warung kecil. Dan untuk kedua kalinya mereka bertemu di pinggir sungai. Pada waktu itu Wasripin sedang mandi di sungai. Maka terjadilah sebuah permainan dan percakapan antara Wasripin dan Satinah. Begini percakapannya:
“Eh, Joko Tarub. Apa janjimu kalau ada orang yang memberikan pakaian?” kata Satinah dari gerumbul.
Wasripin yang berendam di air sungai diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Ia mengusap-usap matanya. Satinah muncul dari gerumbul. Ia berkecak pinggang.
“Ya, akulah Nawang Wulan.”
“Lho, ini kan Satinah.”
“Bukan. Akulah Nawang Wulan.”
“Satinah!” Wasripin berpikir, Satinah mungkin telah gila.
“Wo, kau ini bagaimana!”
“Ini apa?”
“Ini permainan. Namanya Joko Tarub-Nawang Wulan. Wah, orang kota yang picik.”
Ia ingat, emak angkatnya pernah memang bercerita tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan waktu dia kecil. “Ada tujuh bidadari sedang mandi di sendang, yang tercantik namanya Nawang Wulan. Joko Tarub yang mengintip ingin memperisteri bidadari yang tercantik itu. maka ia pun menyembunyikan pakaiannya. Ketika selesai mandi, bidadari mencari pakaian masing-masing dan terbang. Tinggallah Nawang Wulan yang kehilangan pakaian dan tak dapat terbang. Maka ia bersumpah bahwa siapa saja yang menemukaan pakaiannya kalau perempuan akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami. Pada waktu itu muncullah Joko Tarub.” Waktu itu dia berpikir laki-laki desa itu sangat beruntung. Dan pernah terbesit dalam pikirannya untuk menjadi Joko Tarub.
“Ini hanya permainan , to?”
“Iya. Kau kira sungguhan?”
“Kok tidak bilang-bilang. Ya sudah. Mana pakaianku?”
“Janji dulu. Kalu laki-laki akan saya jadikan saudara dekat dan kalau perempuan akan saya jadikan isteri.”
“Ya, janji.”
“Harus diucapkan!”
“Bagaimana tadi?”
“Ya, kalau perempuan akan saya jadikan isteri.”
“Nah, begitu.”
Setelah itu mereka bercerita tentang masa lalu.

Wasripin mulai mendapat tawaran dari berbagai orang. Ada yang menawarkannya untuk bergabung di bidang politik, menjadi komandan hansip dan banyak lagi. Itu setelah mereka mendengar rumor tentang Wasripin dan akhirnya ia memutuskan untuk menjadi satpam. Pak modin memberikannya kamar di samping surau.

Ketika Wasripin memulai pekerjaannya sebagai satpam TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dia berjaga pada malam hari, kejadian-kejadian aneh menimpanya. Misalnya, ada pencuri yang ingin mencuri di kantor TPI, bukannya ditangkap malahan ia tolong dengan memberikannya uang karena pencurinya membutuhkan uang dan pencuri itu menyebutnya sebagai pemimpinnya. Dan pada malam harinya ada seorang wanita yang terikat di balok-balok kayu meminta-minta tolong dan ternyata seorang jin. Setelah dilepaskan ia meminta dan memaksa untuk dijadikan isteri, pelayan atau apa saja. Tetapi Wasripin menolak dan melemparnya. Dibakarnya kantor TPI dan seorang wanita yang menjajahkan dirinya. Dan juga ada lagi jin cewek yang menjajahkan jajannya. Ditolaknya. Dan esoknya banyak orang kesurupan yang berteriak menyuruh Wasripin pergi dari desa karena mereka kepanasan.

Desa nelayan mengadakan pemilihan camat. Banyak warga memilh golput karena pak Modin tidak ikut memilih,

Wasripin ingin melaut. Ketika ia sedang melaut ia terkena mabuk laut. Ikan –ikan berebutan memakan muntahannya. Lalu kapal yang diikutinya pulang dengan ikan yang banyak. Berita itu kemudian menyebar. Lalu mereka menempelkan photo Wasripin ketika melaut. Dia dituduh mengajarkan ajaran sesat lalu dibawa ke pengadilan. Dan bebas karena tidak terbukti bersalah.

GPL (Gerakan Pemuda Liar) yang meresahkan masyarakat teratasi berkat paman Satinah. Pada waktu itu, setelah pulang dari rumah Wasripin, Satinah dan pamannya dalam perjalanan pulang, GPL menghadangnya dan memaksa berhenti. Mereka disuruh turun tetapi paman Satinah menolaknya. Ketika GPL mendekat, pamannya berteriak, “Berhenti disitu.” Diluar dugaan mereka tidak bisa bergerak dan tidak ada yang mengetahuinya. Esoknya mereka diciduk.

Dan ramalan paman Satinah tentang fitnah-fitnah untuk Wasripin ternyata benar. Pada bab ini, bab tujuh, Wasripin akan dihadapi dengan fitnah-fitnah dari polisi, peradilan agama sampai para politikus.

Pak Modin mulai berurusan dengan politik karena dituduh sebagai pemimpin gerakan golput. Dia ditahan dan masyarakat kampung nelayan berdemo di depan kantor polisi meminta agar pak Modin dibebaskan. Kejadian itu berulang esoknya. Pak Modin dipilih sebagai lurah desa. Sebenarnya dia ingin menolaknya.

Wasripin dituduh memelihara tuyul karena kebanyakan yang meminta bantuannya kehilangan uang dan oleh polisi dia dibawa ke pengadilan. Karena ketiadaan saksi dan bukti, maka sidang diskors dan akhirnya Wasripin dibebaskan. Setelah kejadian itu, dia dituduh lagi memperkosa dan dibawa kembali ke pengadilan dan dipenjara. Ketika teman-temannya berkunjung mereka menyarankan untuk melakukan sumpah poncong. Sidang di batalkan. Kejadian perkosaan itu hanya rekayasa.

Partai Randu ulang tahun dan akan mengadakan panggung pertunjukan di depan alun-alun tetapi karena suatu hal, panggungnya roboh pada saat acara berlangsung. Kejadiaan itu menjadi pembicaraan dikalangan partai randu.

Dan kejadian tentang kayu-kayu ilegal di teluk itu membuata TPI terbakar. Masyarakat dilarang ikut campur. Dan kejadian itu membuat Wasripin ditangkap, ketika sedang melaut, bukan oleh polisi tetapi geng. Ia dibawa ke markas mereka. Tidak lama kemudian polisi datang dan terjadi baku tembak. Wasripin lolos dan singgah ke rumah Satinah. Karena Wasripin tahu kegitan geng itu, maka teman-temannya mendesaknya untuk melaporkannya kepada polisi. Dan Wasripin melaporkannya. Teman-temannya mendapat bocoran kalau Wasripin akan mendapat penghargaan.

Wasripin melamar Satinah dan menetapkan tanggal pernikahannya. Pak Modin menjadi walinya dan sekaligus Wasripin menjadi anak angkatnya. Sertifikat tanah akan menjadi hadiahnya.

Panitia walimah sudah dibentuk.

Geladiresik untuk penyerahan penghargaan kepada Wasripin dimulai. Malam itu paman Satinah, seperti biasa bermain siter dan seruling “Mas Kumarabang dan Magataruh”, tetapi yang ini beda. Sampai larut malam. Esoknya pamannya sudah meninggal di kamarnya.

Upacara pemberian hadiah untuk Wasripin membuat ketua partai Randu akhirnya menghalalkan segala cara untuk membatalkannya. Kampung Nelayan telah menyiapkan untuk acara pernikahan sekaligus pemberian bintang untuk Wasripin.

Wasripin ditangkap oleh seorang dengan berseragam hijau dan berbaret. Para crew tv, kameramen, wartawan photo dan jurnalist ada di sana. Dan pagi harinya TVRI memberitahkan bahwa Wasripin mati ditembak karena berusaha merebut senjata. Dan ia dituduh sebagai komandan DI/TII. Mayatnya dikuburkan di tempat yang aman agar tidak terjadi syirik. Pernikahan batal dan Satinah pun menghilang. Bendera di lapangan TPI, SD, kantor polisi berkibar setengah tiang walau komandan operasi telah menyuruh untuk menaikannya kembali. Bendera itu tetap setengah tiang dengan sendirinya untuk menghormati Wasripin.

Keesokan harinya sehabis dari surau, sebuah jip hijau datang ke rumah pak Modin dan menangkapnya. Para nelayan berkumpul untuk mencari pak Modin tetapi mereka tidak menemukannya. Nelayan mogok melaut, pasokan ikan tidak ada dan ketua partai desa Nelayan mengajukan surat pembubaran partai.

Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang berpiyama lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu. Orang tua yang ternyata bongkok itu berjalan mondar-mandir, bertumpu tongkat bambu. Banyak orang lewat, tetapi tak memperhatikan. Seorang lewat dengan sepeda motor. Orang itu berhenti. “Pak Modin! Pak Modin!”
Orang tua itu diam saja, menatap dengan kosong. Orang itu mengulurkan tangan.
“Kenalkan saya mister Mudin, Presiden NII.”
“Bukan. Tetapi pak Modin, imam surau.”
‘Saya berani sumpah. Pengangkatan saya sudah tanda tangani. Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.”
“Tidak, pak.”
“Lha, siapa saya?”
Orang bersepeda motor itu tahu bahwa keadaan orang tua itu gawat. Segera ia menitipkan sepeda motornya dan memanggil becak.
“Kok begini jadinya.”
Ia menaikan orang itu ke atas becak, dia sendiri duduk di samping, memapah. Orang itu menangis.
“Mengapa engkau menangis?”
“Tidak apa!”
“Kemana lagi saya dibawa?”
“Pulang ke rumah!”
“Apa, rumah?”
“Ya, pak.”
“Bajumu kotak-kotak. Kau bukan tentara?”
“Saya nelayan, Pak. Anakmu.”
“Saya tak punya anak.”
“Setiap nelayan anakmu.”
“O, begitu.”

Hari itu hari pasar, sekalipun nelayan belum melaut, pasar sudah buka. Tukang becak itu turun dan mendorong becaknya.

Mereka yang kebetulan melihat penumpang becak berteriak. “Pak Modin! Pak Modin!” Mereka membentuk ekor panjang. Para lelaki sesengrukan dan para perempuan menangis.
Selesai

Nama KUNTOWIJOYO, penulis novel ini, pastilah bukan nama asing dalam dunia satra Indonesia. Namun, novel Wasripin dan Satinah ini agak berbeda dibandingkan karya-karyanya yang lain. Tidak seperti karya-karyanya terdahulu, sebutlah seperti Khotbah di Atas Bukit, dimana-karakter-karakter tokoh mendapat ruang yang ikut menentukan bangunan dan isi cerita, dalam novel ini pengarang justru lebih memberi tekanan pada peristiwa yang membentuk jalinan cerita. Lewat karyanya ini Kuntowijoyo mencoba menggambarkan alam pikir bangsa ini: mulai dari tingkat paling bawah hingga birokrasi di tingkat paling atas. Sebuah alam pikir irasional, sesuatu yang khas sekaligus menjadi persoalan besar bangsa yang bernama Indonesia!

(sebuah resensi)

Planning Your Writing Career

On the Newbie-Writers website I ran a poll asking about Writing Business Plans: "Do you have a writing business plan to help you plan your writing?" And almost 87% of those who voted don't.
To be honest, this didn't surprise me. For the first year of my writing life I didn't have a plan either. "Writing is a creative exercise," I reasoned to myself, "therefore, I shouldn't try and fit it into a plan." But my, was I wrong.
You see, without a plan for your writing career, it is hard to keep track of how much writing you do. It is difficult to push yourself to achieve further writing credits, to pursue new markets, to successfully enter contests or even to achieve your targeted word counts for that novel you're working on.
Without a plan, your writing will simply drift along and you can find that at the end of a week you haven't actually written a thing. This is not good if you are ever going to sell your work or finish your novel. To help your career take off, you really need a Writer's Business Plan.
So what is a Writer's Business Plan?
At its most basic a writer's business plan is a set of goals that you intend to reach and deadlines by which you will reach them. At its most complex it is a schedule for increasing your writing income by a set amount, increasing your published clips and the number of magazines you write for by setting exacting targets for you to meet, and involving backward planning to work out when you need to submit queries to which magazines. As this article is aimed at beginners, we will concentrate on a basic writer's plan. For those of you who want to write a more complex one read, this Building a Writer's Business Plan by Moira Allen.
How do you write a Business Plan?
There are three steps involved in writing a business plan:
Setting goals
Allocating Time
Checking your progress
Setting Goals
Goals should be specific, measurable, achievable, realistic and targeted -- or SMART for short.
Specific: Don't just say "I want to be published this year." Instead say, "I want to be published in x and y magazines or I want to have z novel published this year."
Measurable: Don't write "I want to increase my number of published clips this year." Write: "I want to have 10 published clips this year." or "I will send out fifty queries this year."
Achievable: Don't say "I will write two novels this year" or "I will write two articles a week," if you only have 5 hours a week writing time. Instead write something like; "I will complete 3000 words a week on my novel this year." Or "I will research and write one article a fortnight."
Realistic: Don't write down that you will earn $100k from your writing this year, or that you will win the Pulitzer Prize or the Man Booker prize. Write down things that you can realistically achieve given the time you have available for writing and your level of experience. It is realistic to say "I will earn $100 an article by the end of this year" or "I will have completed the first draft of my novel this year" or "I will enter ten writing contests this year."
Targeted: Don't write: "I will one day become a famous author." When will one day be? This is a dream, not a goal. For goals to work; they need to have targets: "I will have written my first draft by x.x.xx." I will submit a query each month by the x." "I will send my novel to one agent every three months"
Allocating Time
Next, look at the time you have available for writing and work out how much time you can realistically spend on each of your goals in a week or a month.
You might need to split your writing time into various tasks: researching new markets, researching articles or fiction settings; composing query letters, writing first drafts of articles or fiction stories; editing second drafts; writing your novel; copywriting work etc, etc.
Then you need to give each goal a deadline, for without a deadline there will be no impetus for you to finish each task and the time you spend on a task will expand to fit the time available to it. To set deadlines you need to take into account such factors as:
Deadlines for article submissions (particularly for seasonal articles)
Deadlines for contest submissions (build in an early deadline for yourself to allow time for editing etc)
Deadlines for when you want to have written the first three chapters of your novel...
Or word counts: 3000 words a week on your novel
You will also need to factor in time that you won't be able to use for writing, such as holidays.
For example, if you want to get 10 published clips this year, then realistically you could be looking at writing fifty queries. That means you need to send out, on average, five queries a week. If you don't plan for that or allocate time to researching markets and drafting queries, then you won't achieve your goal.
Ideally, you should also factor into your writing plan time to improve your craft; time to read writing books or newsletters, time to go on courses or use writing products. You need to invest time in your development as a writer.
Checking your progress
I write out all my goals on a piece of paper and then transfer these goals to my diary. I write out when I should have achieved each goal on the correct day of my diary and check my diary and business plan on a weekly basis. I also copy my immediate goals onto a "Things to Do" page in my planner.
When I used Microsoft Works I found their scheduling software a boon for setting targets. You might find using the scheduling tool in Outlook Express useful too. Whichever method you use; the important thing is to write down your goals and check your progress towards them regularly.
So, there you have it. Writing a plan for your writing career is not a lengthy process but it is one that should improve your productivity and enable you to make the most of your writing time.

Anjing-anjing Menyerbu Kuburan

DIA tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.
Tidak seorang pun di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu. Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap malam itu. Tidak ada, angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya kunang-kunang yang menemaninya. Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa. Dia. tinggal mencari timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari: seorang perempuan telah meninggal pada malam Selasa Kliwon. Itu telah dise-barkan dari desa ke desa, seperti api yang mambakar jerami kering di sawah.
Dengan celana dan baju tentara yang lusuh, yang dibelinya dari tukang rombeng di pasar, ia keluar rumah. Digulungnya baju itu ke atas, dan menyembullah otot lengannya. Ia berjalan tanpa sandal. Di tangannya adalah plastik hitam. Dalam gelap malam, plastik itu nyaris tak tampak. Ada teplok di rumahnya, tapi lampu itu kalah dengan gelap malam.
"Ke mana, Kang?" tanya istrinya, ketika dia keluar lewat tengah malam itu.
"Ronda".
"Bukan harinya kok ronda"
Ia tahu orang desa akan menjaga kuburan itu sepanjang malam.
Mereka akan bergerombolan di sekitar petromaks yang dibawa dari desa. Mereka akan mendirikan atap dari daun kelapa, mencegah kantuk dengan mengobrol atau main kartu. Makan, makanan kecil, dan minum akan dikirim dari desa. Tetapi itu pun tidak perlu dikhawatirkan. la telah membawa beras kuning dari dukun dalam kantung plastik. Apa yang harus dikerjakannya ialah menabur beras itu di empat penjuru angin yang mengelilingi para penjaga kubur. Selanjutnya, biarkanlah beras kuning itu bekerja.
Ia mengendap-endap dalam gelap. Terdengar dari jauh canda orang-orang di bawah bertepe, atap dari daun kelapa itu. "Mati kau! Terimalah, ini as!" kata orang itu sambil membantingkan kartuya di tikar plastik. la menaburkan beras kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra, "Rem rem sidem premanem, rem rem sidem premanem, rem rem sidem premanem." Gurunya menyebut jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang diturunkan oleh Raden Indrajit, pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah menidurkan prajurit Rama, dan akan menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan. Setelah selesai satu arah, ia harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai dengan kiblat papat, arah yang keempat, dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning yang kelima. kali di pancer, pusat, tempat orang-orang menjaga. Ketika ia menaburkan beras kuning yang kedua kalinya, terdengar kentong dipukul jauh di desa. Beruntunglah ia, makam itu terletak di gundukan pinggir desa, sehingga kentong itu tidak berpengaruh apa-apa pada penduduk desa yang di makam itu.
Kentong terdengar lagi ketika ia menaburkan beras ketiga kalinya. Ada tanda-tanda bahwa orang mulai mengantuk. "Oahem suk ruwah mangan apem," kata seorang keras-keras, sambil menguap. Dan suara-suara mulai berhenti ketika ia menaburkan beras keempat kalinya.
Ia menunggu sebentar. "Sabar, sabar, bekerja itu jangan grusa-grusu," katanya pada diri sendiri. Ia keluar dari gelap. Dilihatnya orang-orang sudah tertidur. Tempat itu seperti bekas orang bunuh diri minum racun. Disebarnya beras kuning terakhir, dan mengucapkan mantera. Orang-orang tertidur, dibuai mimpi indah yang tak ingin segera berakhir. Seorang pemain kartu terlena, ditangannya masih ada setumpuk kartu yang belum habis dibagikan. Semut yang menggotong butir nasi berhenti di jalan, tertidur. Cengkerik berhenti berbunyi.
Rumput-rumput menunduk lesu. Kunang-kunang berhenti terbang dan mencari tambatan, tertidur di sebarang tempat. Angin berhenti mengalir. Laki-laki itu menuju petromaks dan mematikannya. la mendekati kuburan baru. Beruntunglah dia, tanah itu berpasir. Dia harus mengeduk kuburan itu dengan tangan telanjang, mengeluarkannya dan menggigit telinga kanan-kiri dengan giginya, dan membawanya lari dengan mulutnya ke rumah guru. Dia mencabut patok-patok, mulai menggali timbunan itu. Ini adalah laku terakhir baginya. Dan yang akan membuatnya kaya raya telah memintanya bertapa tujuh hari tujuh malam, dan mencari daun telinga orang yang meninggal. pada hari Anggara Kasih. Pada hari kelima pertapaannya di sebuah hutan yang gawat kelewat-lewat karena sangat angker seluruh tubuhnya serasa dikeroyok semut. Dan hari keenam dirasanya tempat itu banjir, membenamkannya sampai leher. Pada hari terakhir ia dijumpai kakek-kakek dengan janggut putih, dan ditanyai apa keinginannya. Ia sudah siap dengan air gula kelapa, yang akan dengan cepat memulihkan tenaganya. Pendek kata, tujuh hari bertapa itu dia lulus. Dan sekarang ia menghadapi ujian terakhimya! Kuburan orang yang mening-gal Selasa Kliwon akan dijaga sampai hari ketujuh. Itulah sebabnya ia per-lu bekal beras kuning dari guru.
Tidak, bukan karena ia kemasukan setan, kalau ia bekerja keras menggali kubur itu dengan tangannya karena dengan cara itulah ia akan bisa mendandani istrinya dengan sepasang subang emas berlian di telinganya, dan di tangannya melilit ular-ularan dari emas. Niatnya untuk mengganti gigi kuning istrinya dengan emas sudah lama diurungkannya, karena memakai gigi emas bukan zamannya. Anak-anaknya akan memakai sepatu ke sekolah, dan uang SPP tidak akan menunggak. la akan membeli truk supaya keponakannya tidak usah ke kota. Dan adiknya yang bungsu, yang jadi TKI di Bahrain, akan dipanggilnya pulang, sebab cukup banyak yang bisa dikerjakan di rumah. Lebih dari segalanya, ia akan pergi pada lurah dan menyerahkan tanahnya yang seperempat hektar dengan gratis yang semula dipatok dengan harga lima ratus rupiah semeter untuk pembangunan lapangan golf. Ia akan membuka warung-warungan di rumahnya, sekadar untuk menutupi kekayaannya yang bakal mengucur tanpa henti. Benar, mungkin warungnya tidak laku, tapi uang di bawah bantalnya takkan pernah kering. Namun kalau terpaksa mencuri, akan dimintanya danyang hanya mencuri harta. orang-orang kaya yang serakah. Setelah kaya, dia akan berhenti mempekerjakan danyang.
Sekalipun jari-jarinya kasar oleh kerja serabutan sebagai kuli, meng-gali kuburan dengan tangan itu membuat jari-jarinya sakit. Keringat yang keluar dari tubuhnya yang panas karena bekerja di ruangan sempit itu mengalir ke jari-jarinya dan terasa perih. Tetapi hal itu tidak dirasakannya. Eh, dalam benar mereka menggali. Peti kayu itu sudah tampak. Kaya juga orang ini, pakai keranda segala, pikimya.
Kayu-kayu dibuangnya. Dan sebagian tanah itu berguguran dan me-nutup mayat. Agak kesulitan dia mengeluarkan mayat itu, karena lubangnya sempit dan gelap, sinar bintang tertutup oleh tanah, dan dia tidak bisa berdiri di situ tanpa menginjak mayat. Akhimya, dengan kedua kakinya mengangkang dia merenggut kain kafan mayat dan berusaha mengangkat. Mayat itu masih baru, bau kapur barus, amis, dan bau tanah bercampur kapur. Dia tidak peduli mayat itu rusak waktu dinaikkan.
Mayat itu dingin dan kaku. Dia berhasil mengangkat mayat itu, tetapi ruangan terlalu sempit baginya untuk menggigit dua telinganya. la memutuskan untuk menaikkan mayat itu. Dan mayat itu tergeletak di tanah.
Dengan cekatan dibukanya kain kafan yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan rumah-rumah tembok.
Diterangi bintang-bintang di atas ia dapat melihat dua ekor anjing, seekor putih dan seekor tidak putih, menunggui dia bekerja. Sekalipun matanya tidak bisa melihat, tapi dia tahu bahwa anjing-anjing itu menjulurkan lidah, meneteskan air liur, dan memperlihatkan taring. Dia berpikir mungkin itu anjing siluman, sebab ia lupa sesuatu: belum minta izin penunggu makam. Maka dia bersila khidmat, "Demit peri prayangan yang mbaureksa makam, jangan diganggu, izinkanlah cucumu bekerja." Diucapkannya kalimat itu tiga kali. Tetapi anjing itu malah bertambah, jadi empat. Ia dapat melihat dalam temaram anjing-anjing itu menantikan kesempatan. Tahulah ia, bahwa harus bekerja cepat.
Ketika ia membungkuk, mau menggigit telinga, seekor anjing me-nyambar. Dia. membatalkan niatnya, menggunakan tangan untuk meng-usir anjing itu. Anjing yang tiga ekor berusaha merobek kain kafan dengan moncongnya dan cakarnya. Dia menggunakan sebelah kakinya untuk mengusir anjing-anjing itu. Didengarnya ada anjing-anjing lain menggonggong di pinggir makam. Mereka segera menyerbu mayat.
Celaka, anjing itu menjadi tujuh ekor. Mereka tidak memberi kesempatan baginya untuk menggigit telinga lagi. Sementara itu jari-jari tangannya yang terluka, mungkin oleh kerikil-kerikil tajam terasa pedih. Tapi dia tidak mau mundur. Setiap kali ia mau menggigit telinga ada saja anjing mengganggunya. Kalau saia anjing-anjing itu mau diajak berdamai, sebenarnya dia hanya butuh dua telinga, selebihnya biarlah untuk anjing-anjing itu. Dia mau bilang pada anjing-anjing bahwa bagian kepala itu kebanyakan hanya tulang, kalau mau bagian yang berdaging, pahalah tetapi jangan kepala. Biarlah bagian penuh tulang itu untuk bangsa manusia, untuk bangsa hewan ya bagian yang berdaging. Tetapi anjing-anjing itu tidak mau berkompromi. Kain kafan itu robek-robek oleh moncong dan cakar anjing. Sebagai orang desa matanya terbiasa dengan malam. Jelas terlihat bahwa daging di bagian paha mayat mulai robek. Dia melupakan urusan telinga itu. Yang akan dikerjakannya ialah mengusir anjing-anjing, yang mungkin binatang liar yang tak tahu aturan. Jari-jarinya mulai mengeluarkan darah. Ia menahan rasa sakitnya, dan mempergunakan tangan dan kakinya untuk menyerang binatang-binatang itu. Dia ingat bahwa ada patok kayu di kepala dan kaki kuburan. Ditemukannya kayu-kayu itu. Dia mengamuk dengan kayu-kayu itu di tangan. Ternyata hasilnya lumayan.
Anjing-anjing itu menepi dari mayat. Itu memberinya kesempatan untuk kembali membungkuk. Yang dikerjakannya sederhana: menggigit telinga-telinga dan pergi. Tetapi anjing-anjing liar itu tidak memberi kesempatan. Begitu ia tidak memperhatikan mereka dan membungkuk, anjing-anjing mulai menyambar lagi. Rupanya ia harus mengusir anjing-anjing agak jauh. Dan dengan kayu dan "sh sh sh" ia berhasil mengusir mereka lebih jauh. Lagi, anjing-anjing itu menyerbu waktu ia membungkuk.
Darah di jari-jarinya menderas, membasahi kayu-kayu di tangannya. Matanya berkunang-kunang, dan ia merasakan badannya mulai lemas. Dan anjing-anjing itu semakin galak. Mereka tidak lari ke pinggir, tapi menahan kesakitan oleh pukulan-pukulan kayu yang makin lemah.
Suara-suara mereka yang gaduh dan lolongan --sebagian lolongan karena kesakitan-- telah membangunkan orang-orang yang menjaga kubur-an. Orang-orang itu masih sempat melihat dia mengayunkan kayu, sebelum akhimya ia terjatuh, tak sadar. Anjing-anjing itu menyelinap ke balik kegelapan ketika melihat banyak orang datang. Mereka memandangi mayat dan laki-laki pingsan itu.
"Pencuri!" kata seorang.
"Penyelamat!" kata yang lain.
Yogyakarta, 4 Januari 1996
KUNTOWIJOYO