Februari 05, 2008

WASRIPIN DAN SATINAH KUNTOWIJOYO

Wasripin ingin mencari desa ibunya yang entah di mana. Yang ia tahu hanya desa ibunya berada di dekat pantai. Setelah sampai di dekat pantai ia mencari tempat peristirahatan. Dia tertidur di emperan surau. Sampai ashar, sampai maghrib, sampai isya’. Esoknya orang-orang kampung nelayan berkumpul untuk membangunkannya, tetapi dia hanya tetap tidur. Dia tertidur selama tiga hari dan terbangun pada siang harinya. Kejadian itu menjadi pembicaraan di kampung nelayan. Dan ada yang bilang bahwa ia telah bertemu nabi Hidir di dalam mimpinya. Setelah kejadian ini, maka dimulailah perjalanan hidup Wasripin, dimana dia akan bertemu pak Modin seorang imam surau dan dulu pernah menjabat sebagai perangkat desa tetapi diberhentikan. Satinah seorang penyanyi dan pamannya seorang pemain siter yang buta. Dunia politik, kejahatan, hal-hal yang ghaib dan mistik. Serta fitnah-fitnah yang akan membumbui kisahnya.

Wasripin dan Satinah pertama kali bertemu di warung kecil. Dan untuk kedua kalinya mereka bertemu di pinggir sungai. Pada waktu itu Wasripin sedang mandi di sungai. Maka terjadilah sebuah permainan dan percakapan antara Wasripin dan Satinah. Begini percakapannya:
“Eh, Joko Tarub. Apa janjimu kalau ada orang yang memberikan pakaian?” kata Satinah dari gerumbul.
Wasripin yang berendam di air sungai diam, dia tidak tahu harus berkata apa. Ia mengusap-usap matanya. Satinah muncul dari gerumbul. Ia berkecak pinggang.
“Ya, akulah Nawang Wulan.”
“Lho, ini kan Satinah.”
“Bukan. Akulah Nawang Wulan.”
“Satinah!” Wasripin berpikir, Satinah mungkin telah gila.
“Wo, kau ini bagaimana!”
“Ini apa?”
“Ini permainan. Namanya Joko Tarub-Nawang Wulan. Wah, orang kota yang picik.”
Ia ingat, emak angkatnya pernah memang bercerita tentang Joko Tarub dan Nawang Wulan waktu dia kecil. “Ada tujuh bidadari sedang mandi di sendang, yang tercantik namanya Nawang Wulan. Joko Tarub yang mengintip ingin memperisteri bidadari yang tercantik itu. maka ia pun menyembunyikan pakaiannya. Ketika selesai mandi, bidadari mencari pakaian masing-masing dan terbang. Tinggallah Nawang Wulan yang kehilangan pakaian dan tak dapat terbang. Maka ia bersumpah bahwa siapa saja yang menemukaan pakaiannya kalau perempuan akan dijadikannya saudara, kalau laki-laki akan dijadikannya suami. Pada waktu itu muncullah Joko Tarub.” Waktu itu dia berpikir laki-laki desa itu sangat beruntung. Dan pernah terbesit dalam pikirannya untuk menjadi Joko Tarub.
“Ini hanya permainan , to?”
“Iya. Kau kira sungguhan?”
“Kok tidak bilang-bilang. Ya sudah. Mana pakaianku?”
“Janji dulu. Kalu laki-laki akan saya jadikan saudara dekat dan kalau perempuan akan saya jadikan isteri.”
“Ya, janji.”
“Harus diucapkan!”
“Bagaimana tadi?”
“Ya, kalau perempuan akan saya jadikan isteri.”
“Nah, begitu.”
Setelah itu mereka bercerita tentang masa lalu.

Wasripin mulai mendapat tawaran dari berbagai orang. Ada yang menawarkannya untuk bergabung di bidang politik, menjadi komandan hansip dan banyak lagi. Itu setelah mereka mendengar rumor tentang Wasripin dan akhirnya ia memutuskan untuk menjadi satpam. Pak modin memberikannya kamar di samping surau.

Ketika Wasripin memulai pekerjaannya sebagai satpam TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dia berjaga pada malam hari, kejadian-kejadian aneh menimpanya. Misalnya, ada pencuri yang ingin mencuri di kantor TPI, bukannya ditangkap malahan ia tolong dengan memberikannya uang karena pencurinya membutuhkan uang dan pencuri itu menyebutnya sebagai pemimpinnya. Dan pada malam harinya ada seorang wanita yang terikat di balok-balok kayu meminta-minta tolong dan ternyata seorang jin. Setelah dilepaskan ia meminta dan memaksa untuk dijadikan isteri, pelayan atau apa saja. Tetapi Wasripin menolak dan melemparnya. Dibakarnya kantor TPI dan seorang wanita yang menjajahkan dirinya. Dan juga ada lagi jin cewek yang menjajahkan jajannya. Ditolaknya. Dan esoknya banyak orang kesurupan yang berteriak menyuruh Wasripin pergi dari desa karena mereka kepanasan.

Desa nelayan mengadakan pemilihan camat. Banyak warga memilh golput karena pak Modin tidak ikut memilih,

Wasripin ingin melaut. Ketika ia sedang melaut ia terkena mabuk laut. Ikan –ikan berebutan memakan muntahannya. Lalu kapal yang diikutinya pulang dengan ikan yang banyak. Berita itu kemudian menyebar. Lalu mereka menempelkan photo Wasripin ketika melaut. Dia dituduh mengajarkan ajaran sesat lalu dibawa ke pengadilan. Dan bebas karena tidak terbukti bersalah.

GPL (Gerakan Pemuda Liar) yang meresahkan masyarakat teratasi berkat paman Satinah. Pada waktu itu, setelah pulang dari rumah Wasripin, Satinah dan pamannya dalam perjalanan pulang, GPL menghadangnya dan memaksa berhenti. Mereka disuruh turun tetapi paman Satinah menolaknya. Ketika GPL mendekat, pamannya berteriak, “Berhenti disitu.” Diluar dugaan mereka tidak bisa bergerak dan tidak ada yang mengetahuinya. Esoknya mereka diciduk.

Dan ramalan paman Satinah tentang fitnah-fitnah untuk Wasripin ternyata benar. Pada bab ini, bab tujuh, Wasripin akan dihadapi dengan fitnah-fitnah dari polisi, peradilan agama sampai para politikus.

Pak Modin mulai berurusan dengan politik karena dituduh sebagai pemimpin gerakan golput. Dia ditahan dan masyarakat kampung nelayan berdemo di depan kantor polisi meminta agar pak Modin dibebaskan. Kejadian itu berulang esoknya. Pak Modin dipilih sebagai lurah desa. Sebenarnya dia ingin menolaknya.

Wasripin dituduh memelihara tuyul karena kebanyakan yang meminta bantuannya kehilangan uang dan oleh polisi dia dibawa ke pengadilan. Karena ketiadaan saksi dan bukti, maka sidang diskors dan akhirnya Wasripin dibebaskan. Setelah kejadian itu, dia dituduh lagi memperkosa dan dibawa kembali ke pengadilan dan dipenjara. Ketika teman-temannya berkunjung mereka menyarankan untuk melakukan sumpah poncong. Sidang di batalkan. Kejadian perkosaan itu hanya rekayasa.

Partai Randu ulang tahun dan akan mengadakan panggung pertunjukan di depan alun-alun tetapi karena suatu hal, panggungnya roboh pada saat acara berlangsung. Kejadiaan itu menjadi pembicaraan dikalangan partai randu.

Dan kejadian tentang kayu-kayu ilegal di teluk itu membuata TPI terbakar. Masyarakat dilarang ikut campur. Dan kejadian itu membuat Wasripin ditangkap, ketika sedang melaut, bukan oleh polisi tetapi geng. Ia dibawa ke markas mereka. Tidak lama kemudian polisi datang dan terjadi baku tembak. Wasripin lolos dan singgah ke rumah Satinah. Karena Wasripin tahu kegitan geng itu, maka teman-temannya mendesaknya untuk melaporkannya kepada polisi. Dan Wasripin melaporkannya. Teman-temannya mendapat bocoran kalau Wasripin akan mendapat penghargaan.

Wasripin melamar Satinah dan menetapkan tanggal pernikahannya. Pak Modin menjadi walinya dan sekaligus Wasripin menjadi anak angkatnya. Sertifikat tanah akan menjadi hadiahnya.

Panitia walimah sudah dibentuk.

Geladiresik untuk penyerahan penghargaan kepada Wasripin dimulai. Malam itu paman Satinah, seperti biasa bermain siter dan seruling “Mas Kumarabang dan Magataruh”, tetapi yang ini beda. Sampai larut malam. Esoknya pamannya sudah meninggal di kamarnya.

Upacara pemberian hadiah untuk Wasripin membuat ketua partai Randu akhirnya menghalalkan segala cara untuk membatalkannya. Kampung Nelayan telah menyiapkan untuk acara pernikahan sekaligus pemberian bintang untuk Wasripin.

Wasripin ditangkap oleh seorang dengan berseragam hijau dan berbaret. Para crew tv, kameramen, wartawan photo dan jurnalist ada di sana. Dan pagi harinya TVRI memberitahkan bahwa Wasripin mati ditembak karena berusaha merebut senjata. Dan ia dituduh sebagai komandan DI/TII. Mayatnya dikuburkan di tempat yang aman agar tidak terjadi syirik. Pernikahan batal dan Satinah pun menghilang. Bendera di lapangan TPI, SD, kantor polisi berkibar setengah tiang walau komandan operasi telah menyuruh untuk menaikannya kembali. Bendera itu tetap setengah tiang dengan sendirinya untuk menghormati Wasripin.

Keesokan harinya sehabis dari surau, sebuah jip hijau datang ke rumah pak Modin dan menangkapnya. Para nelayan berkumpul untuk mencari pak Modin tetapi mereka tidak menemukannya. Nelayan mogok melaut, pasokan ikan tidak ada dan ketua partai desa Nelayan mengajukan surat pembubaran partai.

Sebuah jip hijau berhenti. Tiga orang tentara turun. Mereka memapah seorang berpiyama lusuh, lalu menaruh orang tua itu di tepi jalan. Sepotong bambu sepanjang dua meter dilemparkan. Jip itu pergi. Orang tua merangkak memungut bambu itu. Orang tua yang ternyata bongkok itu berjalan mondar-mandir, bertumpu tongkat bambu. Banyak orang lewat, tetapi tak memperhatikan. Seorang lewat dengan sepeda motor. Orang itu berhenti. “Pak Modin! Pak Modin!”
Orang tua itu diam saja, menatap dengan kosong. Orang itu mengulurkan tangan.
“Kenalkan saya mister Mudin, Presiden NII.”
“Bukan. Tetapi pak Modin, imam surau.”
‘Saya berani sumpah. Pengangkatan saya sudah tanda tangani. Disaksikan dua kopral bersenjata lengkap.”
“Tidak, pak.”
“Lha, siapa saya?”
Orang bersepeda motor itu tahu bahwa keadaan orang tua itu gawat. Segera ia menitipkan sepeda motornya dan memanggil becak.
“Kok begini jadinya.”
Ia menaikan orang itu ke atas becak, dia sendiri duduk di samping, memapah. Orang itu menangis.
“Mengapa engkau menangis?”
“Tidak apa!”
“Kemana lagi saya dibawa?”
“Pulang ke rumah!”
“Apa, rumah?”
“Ya, pak.”
“Bajumu kotak-kotak. Kau bukan tentara?”
“Saya nelayan, Pak. Anakmu.”
“Saya tak punya anak.”
“Setiap nelayan anakmu.”
“O, begitu.”

Hari itu hari pasar, sekalipun nelayan belum melaut, pasar sudah buka. Tukang becak itu turun dan mendorong becaknya.

Mereka yang kebetulan melihat penumpang becak berteriak. “Pak Modin! Pak Modin!” Mereka membentuk ekor panjang. Para lelaki sesengrukan dan para perempuan menangis.
Selesai

Nama KUNTOWIJOYO, penulis novel ini, pastilah bukan nama asing dalam dunia satra Indonesia. Namun, novel Wasripin dan Satinah ini agak berbeda dibandingkan karya-karyanya yang lain. Tidak seperti karya-karyanya terdahulu, sebutlah seperti Khotbah di Atas Bukit, dimana-karakter-karakter tokoh mendapat ruang yang ikut menentukan bangunan dan isi cerita, dalam novel ini pengarang justru lebih memberi tekanan pada peristiwa yang membentuk jalinan cerita. Lewat karyanya ini Kuntowijoyo mencoba menggambarkan alam pikir bangsa ini: mulai dari tingkat paling bawah hingga birokrasi di tingkat paling atas. Sebuah alam pikir irasional, sesuatu yang khas sekaligus menjadi persoalan besar bangsa yang bernama Indonesia!

(sebuah resensi)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar