Oktober 24, 2009

Speech Contest 2009*

*Winning "Lomba Pidato (Bahasa Arab dan Inggris) dan MTQ yang diadakan Pusat Bahasa STAIN JUSI Metro 23 Oktober 2009

The audience
Munir Said Thalib was born in Malang, East Java, 8 December 1965 and passed away in Jakarta 7 September 2004, when he was 38 years old. He was an activist of human rights in Indonesia.
Munir was named Man of the Year by the leading Muslim periodical, UMMAT, and as a “young leader for the Millennium in Asia” by Asia week in 2000.
Some cases which were handled by him:
• Legal Counsel for students and farmers in Pasuruan, in the case of riots at PT. Chief Samsung, the accusation was the criminal acts of investigation, 1995.
• Legal Counsel in the case of disappearance of 24 activists and students in Jakarta, 1997 through 1998.
• Legal Counsel in the case of the shooting of the students in Semarang tragedy I and II, 1998 and 1999.
• Various cases of human rights violations in issues concerning labor, land, environment, and civil and political rights.

He died two hours before airplane GA – 974 landed at Schipol Amsterdam airport, 7 September 2004.
After performing autopsy, Forensic Institute of Netherland confirmed that they found chemical compound ‘arsenic’ in Munir’s food. It was clear that he died because of being poisoned.
In 20 September 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto was suspected as the murderer and was sentenced to be in jail for 14 years.
In 19 June 2008, Muchdi Pr was arrested because he was suspected as the director of the murder. All strong evidences and witnesses went to him. Unfortunately, in 31 December 2008, he was sentenced to be free.
To remember one year of Munir’s death, a documentary movie entitled: “BUNGA DIBAKAR” by Ratrikala Bhre Aditya was presented in Goethe-Institute Jakarta. It was all about Munir’s life story.
Since 2005, every 7 September, the day when Munir died, was proclaimed by the activists of human rights in Indonesia as “Protector of Human Rights of Indonesia Day”.

The audience
The point of what I am about to convey is Munir was murdered in Democratic Era and Openness and also in the hope that presented an Indonesian dream is going to be real. He died because he fought for protecting human rights, protecting the oppressed people.
Now, let us see several unsettled cases, such as Trisakti, Semanggi I and II, May’s riot, kidnapping activists, Tanjung Priok, Talang Sari, Murder of Munir, and many more cases of human rights violence. This is proved that government, as the implementer of law, has not successfully built human rights in Indonesia. The professionalism of our government in upholding law must be questioned. If there is intervention of the third person in upholding law, the law itself is, as if, prevailed just for the general people. Thus, it is revealed that justice principal in upholding law in our country has not been implemented well yet. Here, the figure of Munir must be revived.
Protection of human rights means protection of law. There are many Legal Aid Services (LBH/Lembaga Bantuan Hukum) in Indonesia which are pro-society fight for their rights against the government which takes side with the industrialist and the rich. If only the government one - sidedness is to the society, it needs no opposition between society and government. If it happens, LAS is the answer. Consequently, the youth gathered and founded a legal aid service to help the oppressed people in the case of law. It is not proposed to opposite the government; however, it gives a real picture of the implementation law in Indonesia.
Reflecting to Munir case, it is sure that human rights in Indonesia is not fully Indonesian. It seems that the Constitution 1945, section 28 is only a camouflage. In fact, it is very clear that Forensic Institute of Netherland stated that Munir died because of being poisoned. It is quite impossible someone as Pollycarpus had a strong reason to commit murder. Then, Muchdi Pr was sentenced to be free. This is only fake. This is irrational. May be, Democratic era is just a general term which still professes the New Order.
Now it is true that law is a game. When we won a match, it doesn’t mean we won the game. Nevertheless, the youth touch is needed. They are as the nation generation must be able to be the front guard in case of building human rights in Indonesia. They are as the heirs of this nation must be able to be the moving machine of human rights protectors so that all citizens have their rights. In this case, their one-sidedness must be clarified because this is concerned with our nation future.
By LAS which will be the media for the youth to criticize, to check and balance the upholding law that is out of regulation, it can regenerate the next Munirs who will fight for human rights in our beloved country Indonesia. However, we must be wary, because Munir was murdered in Democratic Era. Don’t let the second or the third Munir be murdered. The youth role, in the case of law, will determine our nation future. An old man said: “Don’t ask what your country can give you! Ask what you can give your country!”


Presented by
M. SAYID WIJAYA

Oktober 14, 2009

DALAM REMANG – REMANG

Meski hari ini langit tampak cerah, awan tidak tampak berkerumunan di jagad atas, terik matahari seraya lebam di pori kulit ku. Ya. Sepanjang perjalanan ku berjalan kaki dari pondok baca “Jemari” ke tempatku bertinggal, udara yang senyap membalut tiap penampang pori gelapku. Aku berfikir bahwa ini hanya akal bulus udara dengan kandungan padat polusi. Dengan berjalan di pinggiran jalan tol seperti ini, bukan hal yang mustahil untuk tidak terkontaminasi dengan gas-gas beracun dari bokong kendaraan yang tidak punya tata krama. Apa boleh dikata. Mereka tidak bersekolah. Aku juga tidak bersekolah. Tapi setidaknya, aku belajar banyak hal dari membaca buku di pondok baca “Jemari”. Begitu pula beberapa orang temanku. Aku rasa teman – teman ku lebih baik dalam hal ini.
Belakangan ini, aku dan teman – teman sering mengunjungi kakak Seta di pondok baca “Jemari”. Meski tempatnya tidak seluas sekolah yang berada tepat di sebelah pasar Ginting dekat gubukku tinggal, buku – buku yang tersusun di rak - rak bertingkat tiga yang panjang lebih banyak dari buku – buku yang di jual di emperan pasar. Hanya majalah dan koran yang ada di sana. Di situ pun aku tidak diperbolehkan untuk memegang lebih – lebih membacanya. Di pondok baca di mana kak Seta sering mengajari kami membaca dan menulis abjad, tersedia buku – buku yang lebih menarik dari sekedar koran dan majalah. Aku dan teman – teman sangat senang sekali di sana. Kami sering menghabiskan waktu hingga sore hanya untuk membaca. Hanya saja, beberapa hari ini, aku harus pulang lebih awal. Ayahku jatuh sakit.
Meski aku baru berumur 13 tahun, aku selalu membantu ayah memulung sampah. Got. Tong sampah. Penampungan sampah. Di tempat – tempat itu kami bekerja. Ayah mendorong gerobak sampah dari kayu. Aku mengiringi dari samping. Kami berdua memikul keranjang dari anyaman bambu dan capit. Ukuran keranjangku lebih kecil. Kami selalu berkerja semenjak pagi. Maklum saja, pekerjaan yang kami tekuni ini sangat beresiko sekali. Sering ayahku beradu mulut dengan sesama pemulung. Ada yang pernah mengatakan bahwa kami telah menyabotase wilayahnya. Ada pula yang menuduh kami berkoalisi dengan pemulung lainnya untuk pemekaran wilayah operasi. Aku hanya menonton saja. Meski badanku bongsor, aku tidak mau mengambil bagian dalam pertengkaraan mereka. Jika mereka mulai mencelakai ayahku, baru aku turun tangan. Aku harus punya strategi jitu. Wajar saja, persaingan di dunia pemulungan ini sangat keras. Seperti pribahasa yang kubaca dari buku “1000 Pribahasa Indonesia”. Yang kuat, dia yang berkuasa.
Tepatnya empat hari lalu. Krumunan pria dan wanita berjas hijau yang sebagian mengenakan ikat kepala putih beramai – ramai berjalan sembari berteriak tidak jelas membawa kain putih panjang bertuliskan “Pemilu cacat. Bubarkan KPU. Indonesia penuh noda”. Saat itu, seperti biasa, aku dan ayah sedang memulung di emperan jalan tidak jauh dari kerumunan yang semakin memekakkan telinga itu. Kami kemudian melanjutkan ke lokasi pemulungan selanjutnya. Karena salah satu jalur adalah melewati kerumunan itu, ayah sempat ragu. Ia memintaku untuk sejenak berhenti di rimbunnya bawah pohon pinggiran jalan. Belum sempat aku mengistirahatkan sepasang kakiku, ayah memintaku untuk bangun. Kami berjalan. Dari pinggiran jalan, kami menelusuri kerumunan itu dengan arah yang berlawanan. Hanya saja, mereka tidak memberikan celah bagi kami. Tiba – tiba seorang dari mereka di sebelah seorang pria tepat di sampingku berteriak, “Mata – mata. Ada polisi preman. Ada polisi preman.” Kerumunan yang tadinya hanya terfokus berjalan tiba – tiba berhamburan dan berlari ke arah kami. Ayah menarikku dan berlari menjauh. Kami terkejar. Seorang menarik kaos yang dikenakan ayah. Ia jatuh tersungkur. Massa mulai menegerumuni kami. Ayah mendorongku keluar dari kerumunan. Aku lihat massa yang sesak itu satu persatu menjatuhkan hantaman dan injakan ke tubuh renta ayahku. Aku berteriak. Aku menjerit. Aku menangis. Aku coba masuk kembali ke dalam kerumunan tersebut untuk melindungi ayah. Aku tak mampu. Ada yang menarik baju kusuhku menjauh dari kerumunan.
“Tetap di sini, Hamid.”
Sejenak aku tatap wajah berkacamatanya. Aku rasa aku mengenalnya. “Kak Seta?”
Dengan tersenyum dia menatapku, “Tenanglah!”
“Ayah”, aku beranjak menangis. Kak Seta mendekati kerumunan masa yang sedang menghakimi ayah. Kedua tangannya mulai memilah - milah masa sehingga menyisakan ayahku dan kak seta. Dengan ditemani seorang wanita berkacamata ia membopong ayah ke bibir trotoar menjauh dari kerumunan masa. Aku berlari menghampiri mereka.
“Kita harus segera memberikan pertolongan kepada bapak ini”, wanita tersebut memandang tajam kak seta. “Kamu kendalikan masa. Bubarkan atau bawa kembali ke basecamp. Jangan sampai kejadian ini berulang. Saya yang akan membawanya ke puskesmas terdekat.”
Kak seta tak merespon. Wajahnya tampak datar. Tangannya melambai memanggil tukang becak yang menonton kejadian itu. “Puskesmas atau rumah sakit. Terserah yang mana. Cepat.” Pintanya pada tukang becak bertopi bundar itu.
Aku membantu wanita itu menaikkan ayah ke atas becak. Wantia itu duduk tepat di samping ayah. Aku tidak mendapat tempat di sana. Aku merengek. Tanganku meraih besi – besi atap becak tersebut yang pipih. Aku coba untuk menahan mereka pergi. Namun, kak seta menarik tanganku.
Kedua tangan kak seta mendorong perlahan punggungku. “Pulanglah ke taman Baca. Nanti kak akan jemput kamu di sana. Kak seta janji.” Aku mengangguk. Kemudian dia beranjak pergi ke kerumunan manusia yang telah menghadiahkan memar di renta tubuh ayahku.
Beranjak aku pergi menuju ke pondok baca. Di dalam perjalanan, otakku tak hentinya memutar balik kejadian itu. Rasanya air mataku ingin sekali mendobrak keluar dari ke dua mata sayuku. Aku merasa layaknya seseorang yang sedang dicuci otaknya. Aku pusing. Teramat pusing. Trotoar jalan mulai meninggalkanku. Mobil dan motor di samping kananku seakan menghilangkan dari pengelihatanku. Hingga pandanganku nampak kabur. Benar – benar kabur.

M. SAYID WIJAYA