Oktober 14, 2009

DALAM REMANG – REMANG

Meski hari ini langit tampak cerah, awan tidak tampak berkerumunan di jagad atas, terik matahari seraya lebam di pori kulit ku. Ya. Sepanjang perjalanan ku berjalan kaki dari pondok baca “Jemari” ke tempatku bertinggal, udara yang senyap membalut tiap penampang pori gelapku. Aku berfikir bahwa ini hanya akal bulus udara dengan kandungan padat polusi. Dengan berjalan di pinggiran jalan tol seperti ini, bukan hal yang mustahil untuk tidak terkontaminasi dengan gas-gas beracun dari bokong kendaraan yang tidak punya tata krama. Apa boleh dikata. Mereka tidak bersekolah. Aku juga tidak bersekolah. Tapi setidaknya, aku belajar banyak hal dari membaca buku di pondok baca “Jemari”. Begitu pula beberapa orang temanku. Aku rasa teman – teman ku lebih baik dalam hal ini.
Belakangan ini, aku dan teman – teman sering mengunjungi kakak Seta di pondok baca “Jemari”. Meski tempatnya tidak seluas sekolah yang berada tepat di sebelah pasar Ginting dekat gubukku tinggal, buku – buku yang tersusun di rak - rak bertingkat tiga yang panjang lebih banyak dari buku – buku yang di jual di emperan pasar. Hanya majalah dan koran yang ada di sana. Di situ pun aku tidak diperbolehkan untuk memegang lebih – lebih membacanya. Di pondok baca di mana kak Seta sering mengajari kami membaca dan menulis abjad, tersedia buku – buku yang lebih menarik dari sekedar koran dan majalah. Aku dan teman – teman sangat senang sekali di sana. Kami sering menghabiskan waktu hingga sore hanya untuk membaca. Hanya saja, beberapa hari ini, aku harus pulang lebih awal. Ayahku jatuh sakit.
Meski aku baru berumur 13 tahun, aku selalu membantu ayah memulung sampah. Got. Tong sampah. Penampungan sampah. Di tempat – tempat itu kami bekerja. Ayah mendorong gerobak sampah dari kayu. Aku mengiringi dari samping. Kami berdua memikul keranjang dari anyaman bambu dan capit. Ukuran keranjangku lebih kecil. Kami selalu berkerja semenjak pagi. Maklum saja, pekerjaan yang kami tekuni ini sangat beresiko sekali. Sering ayahku beradu mulut dengan sesama pemulung. Ada yang pernah mengatakan bahwa kami telah menyabotase wilayahnya. Ada pula yang menuduh kami berkoalisi dengan pemulung lainnya untuk pemekaran wilayah operasi. Aku hanya menonton saja. Meski badanku bongsor, aku tidak mau mengambil bagian dalam pertengkaraan mereka. Jika mereka mulai mencelakai ayahku, baru aku turun tangan. Aku harus punya strategi jitu. Wajar saja, persaingan di dunia pemulungan ini sangat keras. Seperti pribahasa yang kubaca dari buku “1000 Pribahasa Indonesia”. Yang kuat, dia yang berkuasa.
Tepatnya empat hari lalu. Krumunan pria dan wanita berjas hijau yang sebagian mengenakan ikat kepala putih beramai – ramai berjalan sembari berteriak tidak jelas membawa kain putih panjang bertuliskan “Pemilu cacat. Bubarkan KPU. Indonesia penuh noda”. Saat itu, seperti biasa, aku dan ayah sedang memulung di emperan jalan tidak jauh dari kerumunan yang semakin memekakkan telinga itu. Kami kemudian melanjutkan ke lokasi pemulungan selanjutnya. Karena salah satu jalur adalah melewati kerumunan itu, ayah sempat ragu. Ia memintaku untuk sejenak berhenti di rimbunnya bawah pohon pinggiran jalan. Belum sempat aku mengistirahatkan sepasang kakiku, ayah memintaku untuk bangun. Kami berjalan. Dari pinggiran jalan, kami menelusuri kerumunan itu dengan arah yang berlawanan. Hanya saja, mereka tidak memberikan celah bagi kami. Tiba – tiba seorang dari mereka di sebelah seorang pria tepat di sampingku berteriak, “Mata – mata. Ada polisi preman. Ada polisi preman.” Kerumunan yang tadinya hanya terfokus berjalan tiba – tiba berhamburan dan berlari ke arah kami. Ayah menarikku dan berlari menjauh. Kami terkejar. Seorang menarik kaos yang dikenakan ayah. Ia jatuh tersungkur. Massa mulai menegerumuni kami. Ayah mendorongku keluar dari kerumunan. Aku lihat massa yang sesak itu satu persatu menjatuhkan hantaman dan injakan ke tubuh renta ayahku. Aku berteriak. Aku menjerit. Aku menangis. Aku coba masuk kembali ke dalam kerumunan tersebut untuk melindungi ayah. Aku tak mampu. Ada yang menarik baju kusuhku menjauh dari kerumunan.
“Tetap di sini, Hamid.”
Sejenak aku tatap wajah berkacamatanya. Aku rasa aku mengenalnya. “Kak Seta?”
Dengan tersenyum dia menatapku, “Tenanglah!”
“Ayah”, aku beranjak menangis. Kak Seta mendekati kerumunan masa yang sedang menghakimi ayah. Kedua tangannya mulai memilah - milah masa sehingga menyisakan ayahku dan kak seta. Dengan ditemani seorang wanita berkacamata ia membopong ayah ke bibir trotoar menjauh dari kerumunan masa. Aku berlari menghampiri mereka.
“Kita harus segera memberikan pertolongan kepada bapak ini”, wanita tersebut memandang tajam kak seta. “Kamu kendalikan masa. Bubarkan atau bawa kembali ke basecamp. Jangan sampai kejadian ini berulang. Saya yang akan membawanya ke puskesmas terdekat.”
Kak seta tak merespon. Wajahnya tampak datar. Tangannya melambai memanggil tukang becak yang menonton kejadian itu. “Puskesmas atau rumah sakit. Terserah yang mana. Cepat.” Pintanya pada tukang becak bertopi bundar itu.
Aku membantu wanita itu menaikkan ayah ke atas becak. Wantia itu duduk tepat di samping ayah. Aku tidak mendapat tempat di sana. Aku merengek. Tanganku meraih besi – besi atap becak tersebut yang pipih. Aku coba untuk menahan mereka pergi. Namun, kak seta menarik tanganku.
Kedua tangan kak seta mendorong perlahan punggungku. “Pulanglah ke taman Baca. Nanti kak akan jemput kamu di sana. Kak seta janji.” Aku mengangguk. Kemudian dia beranjak pergi ke kerumunan manusia yang telah menghadiahkan memar di renta tubuh ayahku.
Beranjak aku pergi menuju ke pondok baca. Di dalam perjalanan, otakku tak hentinya memutar balik kejadian itu. Rasanya air mataku ingin sekali mendobrak keluar dari ke dua mata sayuku. Aku merasa layaknya seseorang yang sedang dicuci otaknya. Aku pusing. Teramat pusing. Trotoar jalan mulai meninggalkanku. Mobil dan motor di samping kananku seakan menghilangkan dari pengelihatanku. Hingga pandanganku nampak kabur. Benar – benar kabur.

M. SAYID WIJAYA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar