Maret 14, 2010

Cerpen PPL

SUWI

(Sebuah Cerpen: “CINLOK”)

PEMERAN:
 ABDULLAH MUNDI
 ARIANTO SHODIQ
 IMAM WIDARYANTO
 JOKO MAYANG SANJANA
 MUHAMMAD MISRIYANTO
 SABRINA SURURIANTI
 SAIFULATIL HASANAH
 SAYIDATUL MUBAROKAH



Pada suatu hari, Ari, Misriyanti dan Mundi duduk di meja paling belakang perpustakaan. Ari dan Misriyanti duduk berdampingan, sedangkan Mundi duduk berhadapan dengan mereka. Mereka bertiga sedang asyik-asyiknya membaca buku masing-masing. Ari memecah suasana.
“Eh….., Mis”, sembari meletakkan buku yang ia pegang. “Tau gak?”
“Gak”, balas Misriyanti dengan nada mengejek.
“Iiihhh……, dengerin dulu. Mis……”, menggoyangkan tubuh Misriyanti dan meraih paksa buku yang sedang ia pegang.
Dengan malas Misriyanti menjawab,”Eneng opo to, Ri?”
“Ndisek to, Mis. Eneng gossip yang HOT, HOT, HOT banget deh. Mis enggak bakal nyesel deh. It is abour our friends. Ngono loh”.
Berusaha meyakinkan Misriyanti, Ari mengambil secarik kertas yang tepat berada di depannya dan mengambil sebuah pena dari kotak pinsilnya. Dia nampaknya sedang menulis sesuatu. Perlahan dia meletakkan pena tersebut dan memberikan kertas yang baru saja ia tulis sesuatu kepada Misriyanti.
Misriyanti meraih kertas tersebut dan membacanya. Dia menggumam. Dia agaknya terkejut. Dia menyodorkan kertas itu kepada Ari dan menunjuk pada dua nama yang tertulis di atasnya.
“Sur-sur sama Widar??” melirik ke arah Ari.
Ari mengisyaratkan telunjuknya tepat di depan ke dua bibirnya, “Tsuttt… . Jangan keras-keras. Nanti kedengeran tuh ama Sur-sur”, sembari melirik ke arah Sururi yang duduk dua meja ke depan di seberang mereka.
Ari melanjutkan, “Ia tuh, aku pernah ngeliat mereka jalan bareng. Ya gak pegangan tangan sih. Bukan muhrim. Tapikan, agak beda loh aku ngeliatnya.”
Misriyanti memandang ragu ke arah Ari, “Sing tenan, loh Ri?!”
“Iihhh…., tenanan, Mis”, sedikit merengek.
Mundi yang sedari tadi tidak sengaja menyimak percakapan mereka angkat bicara, “Eneng opo to ndok? Ribut aja dari tadi. Lagi ngomongin orang lain atau lagi pada gosip? Pamali tahu! Pamali”.
Ari membela diri, “Bukan gitu loh, Mun. Ini fakta. FAK-TA”, perlahan menurunkan suaranya.
“Tapi aku belum percaya, Mun”, Misriyanti menambahi.
“Kok gitu sih, Mis”, sedikit kecewa.
“Ya gimana lagi loh, Ri. Kan …..”
Mundi menyela, “Eh……, uwes, uwes, uwes. Begini saja, aku punya ide nih. Gimana kalau kita selidiki saja apakah benar atau tidak apa yang Ari katakan barusan?”
“Boleh”, jawab Ari dan Misriyanti serentak.
“Tapi”, Mundi meyakinkan, “Kalau misalkan, seandainya, jikalau dan apabila nantinya apa yang saudara Ari Ulfa katakan adalah ghoiru shahih alias tidak benar, kepada saudara Ari Ulfa dipersilahkan meminta maaf kepada Sururi dan Widaryanti. Wajib hukumnya”, seolah berperan sebagai hakim dipersidangan. Ari dan Misriyanti tersenyum geli.
“Aku setuju”, sahut Misriyanti.
Dengan sebalnya Ari menanggapi, “Iihh…., Mis kok gitu lagi sih. Tapi ya sudahlah, demi yang aku lihat pas waktu itu, aku maju. Maju tak gentar”.
“Terus gimana?” Misriyanti memandang Mundi.
“Begini rencananya ………..”.
Kemudian mereka bertiga mulai berdiskusi membahas rencana yang akan mereka laksanakan. Misriyanti sibuk mencatat apa yang Mundi katakan. Ari memberikan masukan ide-ide kepada Mundi. Mereka terlihat berdiskusi seperti biasanya. Tidak mencolok. Tidak mengundang perhatian teman-temannya yang lain. Sedangkan Sururi tetap sibuk dengan kertas-kertas folio bergarisnya menulis RPP yang nampaknya akan segera ia gunakan.
Bell berbunyi dua kali. Peserta PPL pun berkumpul kembali di perpustakaan dan bersiap untuk pulang. Ari, Misriyanti dan Mundi berjalan bersamaan di belakang teman-temanya ke tempat parkir.
“Besok harus siap. Oke!” bisik Mundi.
“Yoi”, jawab Ari dan Misriyanti penuh semangat.
Akhirnya mereka berpisah di tempat parkir. Mengambil motor mereka dan kembali ke tempat asal masing-masing. Satu hari pun berlalu.

###

Keesokan harinya, Widaryanti yang setiap hari datang lebih awal dari teman-temanya memarkirkan SupraFit-nya di sebelah pohon Flamboyan tepat di belakang gedung UKS. Hari ini dia mengenakan batik coklatnya.
“Pagi, bu”, sapa dua orang siswi yang melintas.
“Pagi”, jawab Widaryanti sembari membuka kaca helem dan melepaskan helem itu dari kepalanya. Ia meletakkannya di atas kaca spion sebelah kanan, mengambil tas jinjing kecoklatan dan akan segera menuju ke perpustakaan sebelum Sururi memarikirkan motor tepat di sebelahnya. Sayid yang dibonceng Sururi turun.
“Pagi, ibu guru. Hari ini kayaknya makin OKE aja yah??!” ejek Sayid.
Widaryanti menyaut dengan jaim, “Oh…ye?!!”, melangkah meninggalkan Sururi dan Sayid yang baru saja tiba.
Sururi mematikan mesin motor, menyerahkan kuncinya pada Sayid, dan mereka berdua bersegera menuju perpustakaan.
“Eh….., Sur. Nanti kamu tanyakan ya sama dia prihal yang pas waktu itu loh. Kalau lama-lama aku jadi enggak enak. Kalau kamu yang bilang mungkin beda dia nanggapinya nanti. Kaliankan sudah kenal sejak lama.”
Mereka berdua yang sedang berjalan di bangsal ruang guru berhenti. Sururi menundukkan kepala, mengangkatnya kembali dan melihat ke arah Sayid.
“Tapi ya aku ndak enak juga.”
“Ayolah, Sur?!!”
“Tapi cuma nyampein aja ya?”
“Ia. Thanks ya kalau begitu.”
Mereka meneruskan perjalanan ke perpustakaan. Terlihat Widaryanti sedang membuka pintu dan masuk ke dalam perpustakaan. Mereka berduapun menyusul masuk.
Tidak berapa lama, Mayang, Misri dan Mundi datang. Mereka meletakkan tas mereka di meja. Seperti biasa, Mayang duduk di meja paling depan menghadap ke belakang, sedangkan Misriyanti dan Mundi duduk berlawanan dari Mayang.
Mayang menghampiri Widaryanti. “Eh….., Wid. Sudah dateng nih”, sembari ber-cikipa cekipi disusul dengan Misriyanti dan Mundi.
“Hari ini ada kelas enggak, Wid?” tanya misriyanti.
“Nanti jam ke 5-6 habis istirahat di X6.”
Mundi menyela, “Nduk, Ari belum dateng ya?”
“Ari?? Jangan ditanya. Ha…ha…ha…”, ejek Sayid.
“Maksudnya???” Ari yang tiba-tiba datang membuat teman-temanya mengalihkan pandangan ke arahnya. Ia meletakkan tasnya di tumpukan tas-tas di meja, mengambil beberapa file dan sebuah buku. Kemudian melangkah keluar dari perpustakaan.
“Hayoloh, Yid!?!” Mayang mengompori.
Misriyanti lebih mengompori. “Hayoloh, Sayid. Hayoloh Sayid!”
Saiful datang. ”Ada apa ini?! Ada apa?!” bersuara dengan gayanya yang khas dan melaju ke tempat duduknya di meja kedua.
“Sur, hari ini giliranmu kan ngajar di kelas X4?? Kalau enggak salah sih jam ke 5-6”, Saiful meyakinkan.
“Ia”, jawab Surui singkat.
“Nah, kalau gitu aku titip pesen ya. Minggu kemaren kan aku ngasih tugas, tapi mereka enggak selesai ngerjainnya. Jadi mereka nyelesaiannya di rumah.”
“Trusss??”
“Ya, sampaikan ke ketua kelasnya kalau tugas mereka dikumpul hari ini. Aku tunggu sampai jam 12.”
“Ya”.

###

Bel bersautan dua kali. Siswa-siswi yang sedang beristirahat kembali masuk ke kelas untuk mengikuti pelajaran selanjutnya. Sururi dan Widaryanti yang akan mengajar di kelas yang berdekatan berjalan bersamaan menuju kelas. Mereka menelusuri jalan setapak. Misriyanti terlihat mengawasi mereka dari depan pintu perpustakaan. Ia melirik Ari dan mengedipkan mata sebelah kirinya memberi tanda. Ari yang sedang duduk di sofa di sebelah meja computer bangun dan menghampiri Mayang.
“May, aku pinjem dulu kameranya.”
“Untuk apa , Ri?”, tanya Mayang penasaran.
“Enggak, mau ngambil gambar aja. Di mana kameranya?”
“Tuh, di tas. Jangan lupa ambil gambar gapura SMAN3 untuk dokumentasi. Pokoknya apa aja yang bisa jadi dokumentasi”, ketus mayang yang sedang mengetik sesuatu di Notebook-nya.
Ari menggeledah isi tas kecil di sebelah Mayang dan mengambil kamera. Menghidupkannya dan mencoba mengambil gambar Mayang yang sedang duduk bersampingan dengan Saiful. Merek nampak sedang mengerjakan tugas.
“Ckreek”.
Ari mematikan kamera. “Siip”. Kemudian ia mendekati Misriyanti dan membisikinya, “Sekarang giliranku.” Ia melangkah keluar dengan pasti.
Misriyanti yang sedari tadi berdiri di depan pintu perpustakaan berpindah untuk duduk di sofa.
Saiful yang sedang membaca kertas yang dipegangnya sedikit mengeluh kepada Mayang. “Apa ini maksudnya? Sekolah kok diisi nama.”
“Mana?” balas Mayang penasaran.
Saiful emosi, “Ni… Sekolah: Widaryanti. Apa ini?? Emang Widaryanti sudah buat sekolah sendiri. Ahh.”
“Mungkin dia khilaf.”
“Ia”, sambung Mundi yang duduk berhadapan dengan mereka. “Al insanu makanul khoto’ wa nisyan. Manusia itu tempatnya salah dan lupeee.”
“Iaaaa”, Saiful menjawab panjang.
Jarum jam berputar cepat. Tak dirasakan tinggal lima menit lagi sebelum jam ke 6 berakhir. Saiful dan Mayang tetap duduk di bangku panas mereka mengerjakan tugas yang belum selesai. Saiful terlihat tidak merasa nyaman lagi dengan posisi duduknya. Beberapa kali ia mencoba mengubah posisi. Tetap saja, ia terlihat tidak nyaman.
“May”, Saiful berdiri, “Aku udahan ya dekteinnya. Bokongku dah mateng nih kelamaan duduk di kursi.”
“Wah, dikit lagi nih”, pinta Mayang.
“Mundi aja ya yang nerusin. Aku mau ke kamar kecil dulu. Mund…..”
Sebelum Saiful sempat memanggil Mundi, tiba-tiba bunyi SMS dari HP Mundi menyaut. “Tulalit. Tulalit.” Mundi meraih HP-nya dan membaca SMS yang baru saja masuk. Ia sedikit terperangah.
“Wah, Ful. Aku enggak bisa gantiin. Aku mau ke kantin dulu. Oke!” sebelum ia menuju ke kantin, ia berbisik kepada Misriyanti. “Giliranku yang maju.” Lalu ia melaju ke kantin dengan cepat.
Sayid yang duduk di meja depan di samping meja Mayang dan Saiful mengerutkan dahinya. Kedua bola matanya yang dilapisi kaca mata itu menatap curiga. Ia merasa ada keanehan yang terjadi semenjak pagi. Dengan berirama ia memanggil Misriyanti.
“Miiiisriyantiiiii”.
Misriyanti menyahut, “Apa toh Say??”
“Ari kok enggak kelihatan ya?”
“Yo di SMS aja loh Say.”
“Oh, kirain Mis tahu. Kalau Mundi kemana tadi?”
“Kurang tahu juga loh Say.”
“Okelah kalau begitu.”
Dengan cepat Sayid mengambil HP yang terletak di depannya dan mulai memainkan jarinya diatas tombol-tombol berhuruf entah sedang mengetik apa. Dan bell istirahat ke dua pun berbunyi.

###

Widaryanti sedang berdiri di depan madding X4 layaknya sedang menunggu seseorang. Ya, ternyata dia memang sedang menunggu. Sururi yang baru saja keluar dari kelas menghampirinya.
“Gimana, Wid?” sembari membetulkan posisi pecinya.
“Yoo, sampean yang gimana?” balas Widaryanti ketus.
“Ya yang aku SMS tadi malem itu. Apa aku harus bilang lagi nih??” Sururi merayu.
“Hmmm. Gimana ya? Tak piker-piker dulu aja ya? Aku lagi males ngomongnya.”
“Ya segeralah. Meski menunggu adalah perbuatan mulia, tapi ya jangan kelamaan. Selepas sholat dzuhur ini saja ya. Biar fresh fikirannya.”
“Gimana ya, Sur?” Widaryanti menunduk.
Sururi pun terdiam untuk beberapa saat. Menata ulang tumpukan buku yang sedang ia bawa. Menghela nafas. Kemudian memanggil Widaryanti pelan.
“Wid.”
“Hm.”
“Aku ndak maksa sampean mau jawab kapan. Sing penting dijawab aja”, tegas Sururi.
“Ia. Aku paham kok.”
“Ayo jalan,” ajak Sururi.
Beberapa orang murid yang sedang duduk di pinggir gorong-gorong X5 memperhatikan mereka berdua dengan seriusnya. Dan tetap, ketika Sururi dan Widaryanti melewati kelas tersebut, anak-anak laki itu memperhatikan mereka tajam. Namun, perhatian Widaryanti teralihkan pada dua orang sosok wanita yang duduk di kantin paling pojok. Ari dan Mundi. Mereka Nampak sedang bercanda. Tapi tetap, Widaryanti tidak mengindahkan mereka. Ia tetap berjalan sedikit ke depan dari Sururi, menjaga jarak supaya tidak ada kecurigaan akan mereka hingga mereka bersua dengan Sayid di depan ruang BK.
Sayid mendekati telinga kanan Sururi, “Seperti yang aku SMS tadi, Sur. Oke!”
Sururi mengangguk paham. Melanjutkan langkahnya bersama dengan Widaryanti dan meninggalkan Sayid sendiri di depan ruang BK. Ia berhenti sejenak dan berbalik kebelakang. “Syukron, Yid.”
“Ya”. Dan terik matahari semakin menjadi. Adzan Dzuhur-pun telah berkumandang. Dengan diiringi bisingnya anak-anak yang sedang beristirahat, mereka tiba di perpustakaan.

###

“Sudah!” Saipul menengahi.
Terlihat mereka berkumpul di meja paling belakang perpustakaan. Ari, Misriyanti, dan Mundi duduk berjajar. Sedangkan Widaryanti dan Mayang duduk menghadap mereka bertiga. Saipul duduk sedikit menjauh dari Mayang.
Widaryanti terisak, “Tapi mbok jangan gitu caranya.” Dia menangis tersedu. Tak terlihat apakah air matanya benar-benar mengalir dari pelupuk matanya. Kedua tangannya menutupi wajah tembamnya. Mayang yang berada di samping kanan Widaryanti mengelus pundaknya.
“Coba dijelaskan detailnya. Jangan langsung men-judge orang gitu loh. Kalian juga mahasiswa. Berpikir dewasalah jangan kayak anak kecil yang masih ngempeng sama emaknya”, saran Mayang.
Mundi yang sedang memegang kertas mengerutkan dahinya. Ia nampaknya sedikit tersinggung dengan pernyataan Mayang. Kemudian ia membaca tulisan yang terpampang di kertas tersebut perlahan, “Dari Sururi”. Kemudian ia menatap Widaryanti dan Mayang. “Puas.”
“Eh, Mun”, Mayang mengangkat suaranya, “Biasa aja dung. Kalian nuduh yang enggak-enggak ke Widaryanti. Terus memaksa dia mengakui apa yang enggak dia lakukan. Memojokkan dia. Sekarang malah ngajak ribut. Apa mau kalian sih?”
“Bukan gitu May. Tapi kami cuma mau konfirmasi dari Widaryanti aja apa bener surat ini? Cuma itu. Enggak lebih”, Ari mencoba membela Mundi.
“Tapi bukan gitu caranya. Kalau dia sudah jawab ‘enggak’, ya ‘enggak’”, tegas Mayang.
Misriyanti yang sedari tadi hanya menjadi kambing congek mulai menunjukkan keberadaannya. “Ini, May. Lihat pake mata! Photo mereka. Sudah tahu ada bukti masih ngeyel juga sih.”
“Oh, ternyata. Kamera yang kamu pinjem tadi Cuma buat moto mereka berdua ya??? Licik. Sok mau jadi paparazzi . Enggak banget sih cara kalian”, wajahnya berekspresi jijik. Kemudian Mayang meraih kamera yang dipegang Misriyanti. “Sini!” pinta Mayang.
Agak lama Mayang melihat gambar-gambar yang ada pada kamera digitalnya. Raut mukanya terlihat sedikit keheranan. Ia terlihat tidak percaya atas apa yang ia lihat. Ia menghela nafas. Meletakkan kamera digitalnya tepat di depannya. Menajamkan kedua matanya ke arah mereka bertiga.
“Beneran, aku enggak habis fikir sama kalian bertiga.”
Sururi dan Sayid yang baru saja makan siang di kantin masuk ke dalam perpustakaan. Mereka masih terlihat bercanda sebelum akhirnya keempat mata Sayid menjangkau ke arah Widaryanti dan kawan-kawan hingga akhirnya mereka berdua sadar akan apa yang terjadi. Mereka berenam terdiam. Sayid mendekati Saipul dan meraih kursi di dekatnya. Ia duduk tepat di sebelah Saipul disusul Sururi yang akhirnya duduk di samping Mayang.
“Ada apa to ini?” tanya Sururi penasaran.
Semua tetap terdiam. Tidak ada yang berusaha menanggapi pertanyaan Sururi. Widaryanti yang masih menyembunyikan wajahnya dibelakang kedua tangannya tetap berisak. Mayang mengusap punggungnya mencoba menenangkan. Dengan wajah sinisnya, Ari hanya memutar kedua bola matanya ke atas ke bawah. Sedangkan Mundi hanya mengamati terus kertas yang dipegangnya. Misriyanti bermain dengan kuku indahnya. Semua diam tanpa kata. Bermain peran menjadi orang bisu. Mungkin. Tak ada suara hingga akhirnya Mayang membeberkan apa yang terjadi.
“Ambil kertas yang dipegang Mundi, Sur! Baca!”
“Eneng opo to?” kemudian Sururi mengambil kertas yang dipegang Mundi. Awalnya Mundi tidak melepaskan kertas yang ia pegang. Namun Sururi tetap memaksa dan memandang Mundi Tajam.
Sururi membaca perlahan. Kedua matanya menelusuri tiap kalimat yang tergores pada kertas tersebut mencoba memahami tiap kata yang ada. Raut wajahnya beberapa kali berubah ekspresi. Terkejut. Tidak percaya. Namun ia tetap membacanya hingga akhir.
Sururi menghela nafas, “Opo to iki?”
“Ya jangan gitu dong, Sur”, Ari menanggapi. “Ya yang kayak kamu baca. Bener enggak itu kamu yang nulis? Jangan pura-pura dong. Gitu aja kok repot.”
“Ia, Sur. Kasihan kan Widaryanti sampai nangis gitu. Kita cuma pengen tahu aja kok”, tambah Misriyanti.
Sururi terdiam. Ia terlihat merenung. Seolah sedang memikirkan jawaban yang tepat untuk pertanyaan tersebut.
“Sur, lihat kertasnya dong?!” pinta Sayid.
Sururi menyerahkan kertas yang sedang ia coba pahami kepada Sayid. Sayid mulai membaca. Ia terlihat tenang. Ia sama sekali nampak tidak terkejut dengan isi suratnya.
“Bodoh!” bentak Sayid keras.
Semua yang sedang terdiam terkejut atas apa yang baru saja mereka dengar. Mereka tersinggung.
“Maksudnya, Say?” Misriyanti marah.
“Jangan sembarangan dong!” sambut Mundi.
Sayid bangun dari duduknya melangkah menuju tas gendongnya yang terletak di meja kedua. Ia membuka reseleting tasnya dan mengambil sesuatu. Yah, itu adalah sebuah kertas. Kemudian ia menempati tempat duduknya kembali.
“Baca! Baca pake pikiran!” Sayid meninggikan suaranya.
“Loh”, Ari terkejut, “Ini kan sama isinya. Cuma beda pengirimnya. Lihat di bawahnya. Mayang.”
Misriyanti dan Mundi berebutan meraih kertas yang sedang dibaca Ari.
“Ia. Sama”, jawab Misriyanti dan Ari bersamaan.
Sayid menghela nafas perlahan. Ia mencoba menyimpulkan. “Aku rasa ada yang mencoba mempermainkan kita. Surat ini awalnya ada diselipan bukuku. Beberapa hari yang lalu, Saipul menemukannya. Dia langsung memberikannya kepadaku meskipun dia sudah membaca isinya terlebih dahulu. Aku memintanya untuk merahasiakan hal ini dari kalian karena aku tidak mau hal-hal aneh terjadi. Tapi mungkin prediksiku salah. Hal ini terjadi lagi. Sekarang menimpa Widaryanti dan Sururi. Dengan surat yang sama isinya. Aku jadi penasaran dengan pengirimnya.”
“Ya, benar yang dikatakan Sayid,” Saipul mencoba menambahi,” Makanya aku dari tadi diam.”
Dan kata-kata dari Saipul membuat mereka semua kembali terdiam. Dalam sunyi itu, Widaryanti menyingkirkan kedua tangannya dan mencoba berkata-kata meski masih terdengar isakan.
“Bukan aku! Bukan aku!”
Tangis Widaryanti semakin menjadi. Mayang yang berada di sampingnya pun ikut mengangis. Ia memeluk widaryanti. Ia memeluknya dengan erat.
“Aku tahu itu, Wid”, sembari Mayang menangis. “Aku tahu!”
Tak terbendung Ari, Misriyanti, dan Mundi ikut pula menangis. Mereka semua lalu berdiri dan berjalan menuju Widaryanti. Mereka memeluknya erat. Erat sekali.
“Maafin aku, Wid”
“Maaf, Wid!”
“Maaf”
Tangis mereka semakin menjadi-jadi. Mengubah ruang yang sepi menjadi ramai dengan isak tangis mereka. Mereka saling berpelukan, berbagi isak tangis, berbagi maaf dan berbagi perasaan mereka yang tercampur menjadi satu. Seolah tak satupun dari mereka menginginkan tangis mereka untuk reda.
Dalam tangis itu, Sayid mencoba untuk menenangkan mereka.
“Coba dengarkan puisi yang ada pada surat ini!”

DENTING

Jemari yang ku simpan tak pernah cukup
melantunkan denting-denting rasa berirama
dalam jerat-jerat pekat
aku pun terikat
ketika kau sulam tawa sebagai persahabatan
ketika kita meniti jalan setapak dari permasalahan
aku terjembab
aku terkait di kail yang kau umpan dalam sukmaku
aku pun tetap terjaga, dan
buih buih muncul dari serabut fikir kita
ketika itu
aku kan bertepi
aku kan berlabuh di pundakmu, meski
jemari yang ku simpan tak pernah cukup
melantunkan denting-denting rasa berirama.


“Aku enggak nyangka kalau yang ngerjain kita ternyata bisa buat puisi juga. Aneh”, Sayid mengomentari.
“Yoi”, jawab Saipul singkat.
“Haaaaa, haaaaa, haaaaaa”, mereka bertiga tertawa bersamaan meski para gadis sedang menangis.
Sururi memberi isyarat kepala, “Heh, Ayo keluar! Biar mereka puas dulu nangisnya.”
Mereka bertigapun melangkah keluar perpustakaan menginggalkan para gadis mengangis di dalam perpustakaan.

###

“Ayo, Pul, pulang!” ajak Sayid.
“Yang lain apa sudah pulang?”
“Dari tadi. Ini kita nungguin kamu ketiduran di Musholla. Ayo cepetan!”
“Cewek-cewek sudah pada pulang. Katanya mereka kecapean nangis”, sambung Sururi sembari mengenakan helemnya.
“Yo!” jawab Saipul singkat.
Saipul dan Sururi menghidupkan mesin motornya. Saipul melaju pertama dan disusul Sururi yang membonceng Sayid. Merekapun pulang meninggalkan pintu gerbang SMAN3. Dalam perjalanan, Sururi yang membonceng Sayid mengurangi laju kecepatan motornya.
“Yid??”
“Hmm.”
“Syukron jazilan, yo.”
“Afwan.”
“Trikmu ternyata berhasil juga.”
“Ehe, aku juga enggak nyangka bakal sukses begitu. Padahal dua surat itu aku yang buat,” sembari tertawa kecil. “Acting kalian berdua memang bagus. Untung aku cepet-cepet sms kalian dan surat cinta buat habibati masih ada di flashdisk. Tapi inget, Sur. Hubungannya dijaga. Sebagai makcomblang-mu, aku enggak rela kalian putus hubungan. Bisa-bisa popularitas ku bias turun. Ha, ha, ha.”
“Oke, boss!” jawab Sururi singkat.
Dan akhirnya satu hari yang penat dengan berbagai masalahpun berlalu begitu saja. Terbang terbawa angin. Menghilang dengan deruman suara motor di jalanan.
“SUWI. SUruri – WIdaryanti. Hi… Hi… Hi…”.

Oleh:
de_souza

tanpa judul

Kau erami jasad ini,
dari kolom kolom tak berbaris,
sehingga guratan nafsu tak mengais,

Sedikit pilu,
tak banyak canda diselubung kita,
tak jua akan menjejaki hari dengan asa.
Lalu,
kau begitu saja meminta,
kau seraya berkata:
“Dari tampannya Arjuna,
Ku ingin buruknya Rahwana”

Dan,
fikir ini meraba,
memilah bulir bulir huruf yang kau minta,
tak jua ku maknai semuanya,
tak jua kau hampiri laranya
hingga kita terikat.

Kemudian,
kuncup – kuncup bermekaran,
lara yang dulu kau pendam,
akhirnya mengalir dalam.

Tak perlu kata bijak,
tak perlu kata padat,
hingga kau benar – benar memahami,
bait – bait rentan asa,
hingga kita terikat.

Meski ku bukan Rahwana yang kau pinta,
darah ku hanya kembali pada Hanoman,
hingga kita terikat,
darahku hanya kembali pada Hanoman.

M. SAYID WIJAYA

Maret 07, 2010

English Corner

BATARA KALA

Batara kala was an evil giant. He always killed people, especially children. His hair was made from fire. Everybody was frightened of him.
One day, Batara guru, the chief god invited all the gods and goddesses to drink sacred water in Paradise. The water was called Tirta Amertasari. It means “The Water of Immortality”. You know why? Because anyone who drinks this water, he or she will live forever. He or she will never die.
You know what? Batara Kala was not invited because he was evil. Then, secretly, he flew into Paradise and stole some of the water. Batara Surya, the god of Sun and Batari Chandra, the goddess of Moon knew what he did. Immediately both of them reported to Batara Vishnu, the keeper god of the universe.
Then, Batara Vishnu took his fatal weapon, Cakra and shot it at Batara Kala.
While Batara Kala was drinking the water, the Cakra hit him on the neck. Batara Kala’s body was separated from the head at once. But, since he had drunk the sacred water, his head was alive. He was very furious with Batara Surya and Batari Chandra and swore to take revenge on them.
He chased Batara Surya and Batari Chandra could escape from Batara Kala’s throat because he no longer had a body. So, Batari Chandra and Batara Surya were safe everytime Batara Kala swallowed them up.
That’s why when there is a solar eclipse or lunar eclipse, Javanese people believe that Batara Kala is swallowing Batara Surya and Batari Chandra.

Questions:
1. Where does this myth come from?
2. What kind of text is this?
3. What did Batara Kala do when he was not invited to drink Tirta Amertasari?
4. What did Batara Suraya and Batari Chandra do when they knew what Batara did?
5. Does the story have a happy or sad ending? Why?