Jika anda melewati jalan Pamungkas, ada sekitar lima gang sebelum perempatan lampu merah menuju ke jalan Jendral A. Yani. Gang ke lima sebelum warung makan Bang Warso, silahkan anda berbelok ke kiri. Rumah ke tiga dari perempatan, maka anda akan menemukan sebuah rumah yang dinding bagian luar terbuat dari batu bata. Di halaman rumahnya ada sepasang kursi dari kayu yang ditengahi oleh sebuah meja bundar juga terbuat dari kayu yang diatasnya terdapat sebuah pot bunga. Dan di halaman luarnya ada sebatang pohon jambu yang sedang berbuah merah.
Rumah tersebut adalah rumah dimana aku tinggal bersama seorang adik yang berumur lima tahun dan juga seorang pembantu. Namanya mbok Mariah. Tetapi aku sering memanggilnya mbok Mar. Dia sudah lama bekerja di rumahku. Kata ibu, mbok Mar sudah bekerja sebelum bapak dan ibu berencana membuatku. Aku masih bingung sampai sekarang. Aku membayangkan ketika ibu dan bapak membuatku pasti sangat melelahkan. Seperti halnya membuat sebuah robot. Proses yang panjang dan pastinya melelahkan.
Bapak dan ibu selalu bepergian. Seringkali mereka meninggalkan kami selama beberapa bulan. Aku sangat senang jika mereka bepergian. Ketika pulang ke rumah, bapak dan ibu pasti membawa oleh – oleh untuk kami. Bapak sering membelikanku buku – buku yang aku sendiri malas untuk membacanya. Bagaimana tidak, buku yang dibelikan bapak selalu tebal. Aku tidak pernah selesai membacanya. Karena aku sangat sibuk sekali.
Aku harus pergi ke sekolah di pagi hari. Sedangkan siangnya, aku bermain di lapangan desa bersama teman – temanku. Kadang kami bermain bola, hitungan sumput, gobak sodor atau taplak meja. Dan di saat senja baru aku akan pulang ke rumah. Setelah sholat maghrib, ibu menyuruh ku mengaji di langgar hingga sholat isya’ tiba. Setelah makan malam, aku pasti tertidur karena kelelahan bermain seharian. Jadi, tidak ada waktu untuk membaca buku – buku tebal itu.
Ayah dan ibu sekarang sedang bepergian ke kota seberang. Mungkin mereka akan pulang ke rumah dua minggu lagi. Mbok Mar, adik ku dan aku sendiri hari ini akan pergi ke kebun di belakang rumah untuk mencabut umbi – umbian. Memang kebun kami tidak seluas kebun tetangga. Tetapi, kebun kami lebih terawat. Mbok Mar sering membersihkan kebun, menyapu, mencabut rumput dan kadang memetik daun singkong untuk di jadikan lalapan dan disantap dengan sambal terasi dan ikan asin goreng. Aku sangat suka jika mbok Mar menyajikan menu itu.
Sekarang, aku akan pergi duluan ke kebun. Biar nanti mbok Mar pergi bersama adikku yang cengeng itu. Jika aku tidak pergi duluan pasti mbok Mar menyuruhku membawa ember dan golok.
###
Pohon – pohon singkong di kebun ku sudah tinggi. Jikalau dibandingkan dengan mbok Mar, kira – kira tiga jengkal lagi baru bisa menyaingi pohon singkong itu. Hal yang wajar, karena mbok Mar sekarang sudah berumur dan punggungnya agak sedikit bongkok.
Tidak hanya umbi – umbian yang ada di kebunku. Di sebelahnya ada juga kandang ayam. Ayam kampung. Ibu ku yang membelikannya. Katanya, ibu membelikan sepasang ayam kampung ini agar aku mengetahui bagaimana cara merawat diri, padahal bukan diriku yang dirawat melainkan sepasang ayam. Kadang aku berpikir bahwa ibu memang aneh.
“Cah gembleng” mbok Mar datang dari pintu belakang rumah dan membawa sebuah ember hitam yang di dalamnya ada sebuah golok. Seperti biasa, ia selalu mengenakan jarik dan berpakaian adat jawa. Layaknya artis – artis di televisi yang sering aku tonton.
“Adik mu ditinggal ember dan golok tidak di bawa.”
“Kelalen mbok.”
“Jidatmu iku seng kelalen” serambi meletakkan ember di dekat kandang ayam. “Isi air.”
Jika embok sedang marah, aku selalu diam tidak bicara. Jika tidak, mbok pasti berkoar lama. Mulutnya komat – kamit dan aku kadang tidak mengerti apa yang di katakannya. Jangan – jangan mbok Mar terkena guna – guna. Atau memang begitu orang yang sudah berumur seperti mbok Mar. Sepertinya aku tidak ingin menjadi tua. Sering ngomel dan tidak punya teman bermain. Memang aku tidak pernah melihat mbok Mar bermain bersama teman. Apalagi bermain layaknya aku. Apa memang mbok Mar tidak tahu caranya bermain hitungan sumput atau gobak sodor? Mungkin suatu saat aku harus mengajarkannya bermain supaya tidak terlalu sering marah.
Mengambil air adalah tugasku. Mbok Mar tidak akan memberikan singkong bakar kepada ku jika aku tidak mengambil air. Sumurnya ada di dalam rumah di samping dapur. Untung saja sumur di rumahku ada katrolnya. Aku tidak akan keberatan menimba air. Tidak seperti di rumah Dodi yang tidak memakai katrol. Tetapi rumah besar di ujung jalan menggunakan pompa air. Dengan hanya memindahkan sakral, airnya sudah melimpah keluar. Jadi, tidak perlu mengeluarkan tenaga seperti aku.
“Mbok, ini airnya. Mau dipakai untuk apa?”
“Nyiram tanah supaya nyabut singkongnya gampang”
“Kok tidak menggunakan golok saja, mbok?”
Mbok Mar hanya diam saja. Dia memulai menyirami tanah di sekitar pohon singkong. “Dicabut dulu lalu di potong nganggo golok” berhenti sejenak lalu melihat kearahku. “Piye?”
Aku hanya mengangguk saja. Masalahnya aku tidak terbiasa mencabut singkong. Mbok Mar yang selalu melakukannya dan dia mengerjakannya sudah berpuluh tahun dan pastinya sudah ahli.
Mbok Mar mulai mencabut singkong. Urat – urat yang menonjol di tangannya seperti kabel – kabel di kamarku. Dan ia mencabutnya dengan cepat. Satu pohon sudah dicabut. Di bawahnya ada tiga buah singkong besar dan bertanah. Kemudian mbok Mar menuju ke pohon sebelahnya. Sedangkan adikku sibuk mengganggu sepasang ayam yang sedang berkencan di dalam kandangnya. Ia mengusili ayam dengan menggunakan lidi sehingga ayam – ayam itu berteriak kegelian. Tiba – tiba, mbok Mar sudah mencabut pohon singkong yang kedua dan memisahkannya dari batangnnya.
“Uwes mbok?” aku berlari ke arahnya dan kemudian diikuti adikku yang sepertinya terlihat bosan menjahili ayamku. Namun, mbok Mar hanya terdiam saja dan membersihkan singkong – singkong itu dari tanah dan memasukkanya kedalam ember yang berisi air. “Ambil korek di dapur, nduk!” Lalu adikku segera berlari ke dapur untuk mengambil korek.
“Mbok, koreknya di mana?” adik ku berteriak dari dapur.
“Em-bok, koreknya di mana?” berdiri di depan pintu dan menampakkan wajah lugunya.
“Di bawah kompor” mbok Mar menjawab pelan. Lalu adikku kembali ke dapur. Tidak lama kemudian ia berlari dengan cepat ke arah kami
“Iki mbok” duduk mendekat dan menjulurkan korek yang berada di tangannya.
“Dipegang dulu ya nduk.”
Adik ku hanya mengangguk dan menarik kembali tangannya. Kami berdua hanya terdiam memperhatikan mbok yang sibuk dengan singkong – singkongnya. Sesekali adik ku menggerakkan badannya ke belakang dan ke depan. Sedangkan aku meletakkan sandal yang ku pakai di bawah pantat ku untuk di duduki.
###
Adikku mencelupkan tangannya kedalam ember yang berisi air dan menghitung satu persatu singkong yang ada di dalamnya. “Enam.” Ia berhenti menghitung singkong di dalam ember. “Aku dapet dua, mas Bedu dapet dua dan mbok Mar juga dapet dua” sembari tersenyum kecil. “Adil dong.”
Lalu mbok Mar memasukkan singkong terakhir kedalam ember. Wajah adik ku terlihat kecewa karena jumlah singkongnya bukan enam, melainkan tujuh.
“Loh, kok nambah satu lagi mbok. Padahalkan sudah pas kalau di bagi” mengeluh dengan nada kecewa.
“Tapi ndak popo. Singkong itu nanti di bagi aja. Aku setengah, mas Bedu setengah dan mbok setengah.”
“Ya sudah” jawab mbok.
“Yakin!” aku sedikit menyela.
Adik ku terdiam sejenak. Mbok Mar bangun dan membawa ember air yang berisi singkong. Adik ku menarik – narik baju mbok Mar. “Mbok, singkong yang terakhir buat bapak sama ibu saja ya.”
“Ia” mbok Mar menjawab singkat.
###
Sampah – sampah sudah terkumpul dan kami siap membakar singkongnya. Mbok Mar mengeluarkan singkong – singkong dari dalam ember dan kemudian diletakkan di tengah tumpukan sampah.
“Singkong singkong, singkong singkong” adik ku bersorak kegirangan. “Kalau singkong nya sudah ada yang matang, buat aku duluan.”
“Enak aja” aku menyela dengan nada mengejek.
“Aku duluan ya mbok” serambi menjulurkan lidahnya. Mbok Mar hanya mengangguk. Tiba – tiba suara guntur terdengar dari langit dan seketika langit berubah menjadi gelap.
“Wah, mau hujan nih.”
“Mbok mau hujan” adikku merengek.
Mbok Mar mengadahkan kepalanya ke atas, “Oh, iya”.
Dan tiba – tiba air hujan mengguyur kami. Aku berlari ke teras belakang. Sedangkan adik ku tetap berdiri di tempatnya. Lalu ia melompat – lompat menyambut turunnya hujan. Sedangkan mbok Mar sibuk mengacak – ngacak dan mengais sampah dan mengumpulkan kembali singkong – singkong ke dalam ember . Mereka segera menyusulku ke teras belakang.
“Mbok, singkong bakarnya enggak jadi ya?” sembari menggaruk kepalanya dengan ujung jari telunjuknya.
“Enggak jadi dong” aku mengambil handuk yang tergantung di dekat pintu kamar mandi.
“Rugi nih, mbok” adikku merengek.
“Ya sudah. Nanti embok buat jadi singkong goreng aja ya!” mbok Mar tersenyum kecil.
“Yah, singkong goreng lagi nih.”
“Ha, ha , ha” aku dan mbok Mar hanya tertawa.
*pernah dikirim untuk dipublikasikan di makalah KROnIKa, namun tidak lulus editing dikarenakan tidak menyajikan permasalahan dalam alur.