Mei 24, 2008

ISA PUTRA MARYAM

(Winning LMCPI 1 [Lomba Menulis Cerpen dan Puisi Islami] LDK STAIN Metro 2007)

Kulantunkan ayat

Kulafadzkan tiap surat – Mu

Gulungan kisah mengisi tiap baris kosong.

Para Nabi diceritakan di tempat aku mengiang lidah pasiku

Kisah sepasang darah.

Ibrahim menggorok Ismail, atau Nuh mengasihi Qanaan

begitu pula Zakaria berbuah Yahya.

Maka, kurindukan kisah Isa putra saudara perempuan Harun.[1]

Perempuan suci

Perempuan tanpa sekat lelaki.

Maka, kuceritakan padamu kisah orok Nabi, orok dari tabir roh – Nya.

Di penjelmaan, di manusia.[2] Di pengasingan dan berbadan dua.

Bumi yang menyuapi

berteriak berzikir di atas orok merah yang baru saja

menghirup angin sesaat

Angin yang mengantar Maryam ke kaumnya.

Angin yang mengatup bibir duanya.

Lalu, bersilatlah lidah mereka. Lidah para durjana akan orok yang berilah.

Ilah yang di otak ciut mereka beranak. Di saat ini,

di saat lidah mereka saling menghujam.

“Duh Gusti! Di mana Isa putra Maryam? Orok yang mengilahikan Kau di depan kaumnya.

Ingin rasanya aku melantukan kisah ini untuk mereka.

Kisah Isa, Putra Maryam.”



[1] Maryam dipanggil ‘saudara perempuan Harun’ oleh kaumnya, karena ia seorang wanita yang shaleh seperti kesalehan Nabi Harun a.s

[2] Dijelaskan di dalam Al Quran surat Maryam bahwa malaikat Jibril mendatangi Maryam dengan menjelma di hadapannya dengan wujud manusia yang sempurna.

SAMIRI

(Winning LMCPI 2 [Lomba Menulis Cerpen dan Puisi Islami] LDK STAIN Metro 2008)

Dalam peninggalan[1]

dan warisan Bani Israil tersulut bisa Samiri

bisa dari setetes Assamirah.


Menjalar di selubung syaraf

mengisi lubang di sudut kepala mereka dengan perhiasan

Samiri,

melahirkan lembu emas dari khianat mereka

dari pengindahan Harun

dari Jabal Sinai dan Taurat

Berkata Musa: “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian) hai Samiri?”[2]

Menjulur lidahnya bercabang

menghitamkan nafsu pula jejak rosul[3]dari segenggam pengetahuan

membatukan ketetapan pada patung yang berongga.[4]

Berhembuslah adzab

mengasihi kesendirian dalam fana

terbakar di ujung kobar api neraka berbalut sesembahan

dan dari Dia, Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.

Begitulah Samiri

dari secarik goresan pada THAAHAA.[5]



[1] Nabi Musa sedang bermunajat dengan Allah di Gunung Sinai untuk menerima Taurat.

[2] Surat Thaahaa, ayat 95.

[3] Yang dimaksud dengan “jejak rosul” di sini adalah ajaran – ajarannya. Menurut faham ini Samiri mengambil sebahagian dari ajaran – ajaran Musa kemudian dilemparkannya ajaran-ajaran itu sehingga dia menjadi sesat. Menurut sebahagian ahli tafsir yang lain yang dimaksud dengan “jejak rosul” itu ialah telapak kuda Jibril a.s. Artinya Samiri mengambil segumpal tanah dari jejak itu lalu dilemparkannya ke dalam logam yang sedang dihancurkan sehingga logam itu berbentuk anak sapi yang mengeluarkan suara.

[4] Para mufassirin berpendapat bahwa patung itu tetap patung tidak bernyawa dan suara seperti lembu itu hanyalah disebabkan oleh angin yang masuk kedalam rongga patung itu dengan tehnik yang dikenal oleh Samiri waktu itu dan sebagian mufassirin ada yang menafsirkan bahwa patung yang dibuat dari emas itu kemudian menjadi tubuh yang bernyawa dan mempunyai suara lembu.

[5] Surat Thaahaa, ayat 85 – 98.

Mei 16, 2008

SINGKONG GORENG

Jika anda melewati jalan Pamungkas, ada sekitar lima gang sebelum perempatan lampu merah menuju ke jalan Jendral A. Yani. Gang ke lima sebelum warung makan Bang Warso, silahkan anda berbelok ke kiri. Rumah ke tiga dari perempatan, maka anda akan menemukan sebuah rumah yang dinding bagian luar terbuat dari batu bata. Di halaman rumahnya ada sepasang kursi dari kayu yang ditengahi oleh sebuah meja bundar juga terbuat dari kayu yang diatasnya terdapat sebuah pot bunga. Dan di halaman luarnya ada sebatang pohon jambu yang sedang berbuah merah.

Rumah tersebut adalah rumah dimana aku tinggal bersama seorang adik yang berumur lima tahun dan juga seorang pembantu. Namanya mbok Mariah. Tetapi aku sering memanggilnya mbok Mar. Dia sudah lama bekerja di rumahku. Kata ibu, mbok Mar sudah bekerja sebelum bapak dan ibu berencana membuatku. Aku masih bingung sampai sekarang. Aku membayangkan ketika ibu dan bapak membuatku pasti sangat melelahkan. Seperti halnya membuat sebuah robot. Proses yang panjang dan pastinya melelahkan.

Bapak dan ibu selalu bepergian. Seringkali mereka meninggalkan kami selama beberapa bulan. Aku sangat senang jika mereka bepergian. Ketika pulang ke rumah, bapak dan ibu pasti membawa oleh – oleh untuk kami. Bapak sering membelikanku buku – buku yang aku sendiri malas untuk membacanya. Bagaimana tidak, buku yang dibelikan bapak selalu tebal. Aku tidak pernah selesai membacanya. Karena aku sangat sibuk sekali.

Aku harus pergi ke sekolah di pagi hari. Sedangkan siangnya, aku bermain di lapangan desa bersama teman – temanku. Kadang kami bermain bola, hitungan sumput, gobak sodor atau taplak meja. Dan di saat senja baru aku akan pulang ke rumah. Setelah sholat maghrib, ibu menyuruh ku mengaji di langgar hingga sholat isya’ tiba. Setelah makan malam, aku pasti tertidur karena kelelahan bermain seharian. Jadi, tidak ada waktu untuk membaca buku – buku tebal itu.

Ayah dan ibu sekarang sedang bepergian ke kota seberang. Mungkin mereka akan pulang ke rumah dua minggu lagi. Mbok Mar, adik ku dan aku sendiri hari ini akan pergi ke kebun di belakang rumah untuk mencabut umbi – umbian. Memang kebun kami tidak seluas kebun tetangga. Tetapi, kebun kami lebih terawat. Mbok Mar sering membersihkan kebun, menyapu, mencabut rumput dan kadang memetik daun singkong untuk di jadikan lalapan dan disantap dengan sambal terasi dan ikan asin goreng. Aku sangat suka jika mbok Mar menyajikan menu itu.

Sekarang, aku akan pergi duluan ke kebun. Biar nanti mbok Mar pergi bersama adikku yang cengeng itu. Jika aku tidak pergi duluan pasti mbok Mar menyuruhku membawa ember dan golok.

###

Pohon – pohon singkong di kebun ku sudah tinggi. Jikalau dibandingkan dengan mbok Mar, kira – kira tiga jengkal lagi baru bisa menyaingi pohon singkong itu. Hal yang wajar, karena mbok Mar sekarang sudah berumur dan punggungnya agak sedikit bongkok.

Tidak hanya umbi – umbian yang ada di kebunku. Di sebelahnya ada juga kandang ayam. Ayam kampung. Ibu ku yang membelikannya. Katanya, ibu membelikan sepasang ayam kampung ini agar aku mengetahui bagaimana cara merawat diri, padahal bukan diriku yang dirawat melainkan sepasang ayam. Kadang aku berpikir bahwa ibu memang aneh.

Cah gemblengmbok Mar datang dari pintu belakang rumah dan membawa sebuah ember hitam yang di dalamnya ada sebuah golok. Seperti biasa, ia selalu mengenakan jarik dan berpakaian adat jawa. Layaknya artis – artis di televisi yang sering aku tonton.

“Adik mu ditinggal ember dan golok tidak di bawa.”

Kelalen mbok.”

Jidatmu iku seng kelalen” serambi meletakkan ember di dekat kandang ayam. “Isi air.”

Jika embok sedang marah, aku selalu diam tidak bicara. Jika tidak, mbok pasti berkoar lama. Mulutnya komat – kamit dan aku kadang tidak mengerti apa yang di katakannya. Jangan – jangan mbok Mar terkena guna – guna. Atau memang begitu orang yang sudah berumur seperti mbok Mar. Sepertinya aku tidak ingin menjadi tua. Sering ngomel dan tidak punya teman bermain. Memang aku tidak pernah melihat mbok Mar bermain bersama teman. Apalagi bermain layaknya aku. Apa memang mbok Mar tidak tahu caranya bermain hitungan sumput atau gobak sodor? Mungkin suatu saat aku harus mengajarkannya bermain supaya tidak terlalu sering marah.

Mengambil air adalah tugasku. Mbok Mar tidak akan memberikan singkong bakar kepada ku jika aku tidak mengambil air. Sumurnya ada di dalam rumah di samping dapur. Untung saja sumur di rumahku ada katrolnya. Aku tidak akan keberatan menimba air. Tidak seperti di rumah Dodi yang tidak memakai katrol. Tetapi rumah besar di ujung jalan menggunakan pompa air. Dengan hanya memindahkan sakral, airnya sudah melimpah keluar. Jadi, tidak perlu mengeluarkan tenaga seperti aku.

Mbok, ini airnya. Mau dipakai untuk apa?”

“Nyiram tanah supaya nyabut singkongnya gampang”

Kok tidak menggunakan golok saja, mbok?”

Mbok Mar hanya diam saja. Dia memulai menyirami tanah di sekitar pohon singkong. “Dicabut dulu lalu di potong nganggo golok” berhenti sejenak lalu melihat kearahku. “Piye?”

Aku hanya mengangguk saja. Masalahnya aku tidak terbiasa mencabut singkong. Mbok Mar yang selalu melakukannya dan dia mengerjakannya sudah berpuluh tahun dan pastinya sudah ahli.

Mbok Mar mulai mencabut singkong. Urat – urat yang menonjol di tangannya seperti kabel – kabel di kamarku. Dan ia mencabutnya dengan cepat. Satu pohon sudah dicabut. Di bawahnya ada tiga buah singkong besar dan bertanah. Kemudian mbok Mar menuju ke pohon sebelahnya. Sedangkan adikku sibuk mengganggu sepasang ayam yang sedang berkencan di dalam kandangnya. Ia mengusili ayam dengan menggunakan lidi sehingga ayam – ayam itu berteriak kegelian. Tiba – tiba, mbok Mar sudah mencabut pohon singkong yang kedua dan memisahkannya dari batangnnya.

Uwes mbok?” aku berlari ke arahnya dan kemudian diikuti adikku yang sepertinya terlihat bosan menjahili ayamku. Namun, mbok Mar hanya terdiam saja dan membersihkan singkong – singkong itu dari tanah dan memasukkanya kedalam ember yang berisi air. “Ambil korek di dapur, nduk!” Lalu adikku segera berlari ke dapur untuk mengambil korek.

Mbok, koreknya di mana?” adik ku berteriak dari dapur.

Em-bok, koreknya di mana?” berdiri di depan pintu dan menampakkan wajah lugunya.

“Di bawah kompor” mbok Mar menjawab pelan. Lalu adikku kembali ke dapur. Tidak lama kemudian ia berlari dengan cepat ke arah kami

Iki mbok” duduk mendekat dan menjulurkan korek yang berada di tangannya.

“Dipegang dulu ya nduk.”

Adik ku hanya mengangguk dan menarik kembali tangannya. Kami berdua hanya terdiam memperhatikan mbok yang sibuk dengan singkong – singkongnya. Sesekali adik ku menggerakkan badannya ke belakang dan ke depan. Sedangkan aku meletakkan sandal yang ku pakai di bawah pantat ku untuk di duduki.

###

Adikku mencelupkan tangannya kedalam ember yang berisi air dan menghitung satu persatu singkong yang ada di dalamnya. “Enam.” Ia berhenti menghitung singkong di dalam ember. “Aku dapet dua, mas Bedu dapet dua dan mbok Mar juga dapet dua” sembari tersenyum kecil. “Adil dong.”

Lalu mbok Mar memasukkan singkong terakhir kedalam ember. Wajah adik ku terlihat kecewa karena jumlah singkongnya bukan enam, melainkan tujuh.

“Loh, kok nambah satu lagi mbok. Padahalkan sudah pas kalau di bagi” mengeluh dengan nada kecewa.

“Tapi ndak popo. Singkong itu nanti di bagi aja. Aku setengah, mas Bedu setengah dan mbok setengah.”

“Ya sudah” jawab mbok.

“Yakin!” aku sedikit menyela.

Adik ku terdiam sejenak. Mbok Mar bangun dan membawa ember air yang berisi singkong. Adik ku menarik – narik baju mbok Mar. “Mbok, singkong yang terakhir buat bapak sama ibu saja ya.”

“Ia” mbok Mar menjawab singkat.

###

Sampah – sampah sudah terkumpul dan kami siap membakar singkongnya. Mbok Mar mengeluarkan singkong – singkong dari dalam ember dan kemudian diletakkan di tengah tumpukan sampah.

“Singkong singkong, singkong singkong” adik ku bersorak kegirangan. “Kalau singkong nya sudah ada yang matang, buat aku duluan.”

“Enak aja” aku menyela dengan nada mengejek.

“Aku duluan ya mbok” serambi menjulurkan lidahnya. Mbok Mar hanya mengangguk. Tiba – tiba suara guntur terdengar dari langit dan seketika langit berubah menjadi gelap.

“Wah, mau hujan nih.”

Mbok mau hujan” adikku merengek.

Mbok Mar mengadahkan kepalanya ke atas, “Oh, iya”.

Dan tiba – tiba air hujan mengguyur kami. Aku berlari ke teras belakang. Sedangkan adik ku tetap berdiri di tempatnya. Lalu ia melompat – lompat menyambut turunnya hujan. Sedangkan mbok Mar sibuk mengacak – ngacak dan mengais sampah dan mengumpulkan kembali singkong – singkong ke dalam ember . Mereka segera menyusulku ke teras belakang.

Mbok, singkong bakarnya enggak jadi ya?” sembari menggaruk kepalanya dengan ujung jari telunjuknya.

“Enggak jadi dong” aku mengambil handuk yang tergantung di dekat pintu kamar mandi.

“Rugi nih, mbok” adikku merengek.

“Ya sudah. Nanti embok buat jadi singkong goreng aja ya!” mbok Mar tersenyum kecil.

“Yah, singkong goreng lagi nih.”

“Ha, ha , ha” aku dan mbok Mar hanya tertawa.

*pernah dikirim untuk dipublikasikan di makalah KROnIKa, namun tidak lulus editing dikarenakan tidak menyajikan permasalahan dalam alur.

Phrasal verb

A phrasal verb is a combination of a verb and preposition, a verb and adverb, or a verb with both an adverb and preposition, any of which are part of the syntax (of the sentence), and so are a complete semantic unit. Its sentences may, however, contain direct and indirect objects in addition to the phrasal verb. Phrasal verbs are particularly frequent in the English language. A phrasal verb often has a meaning which is different from the original verb.

'Preposition' and 'adverb' as used in a phrasal verb are also called 'particle' in that they do not alter their form through inflections (are therefore uninflected, they do not accept affixes, etc.).

Phrasal verbs in informal speech

Phrasal verbs are usually used informally in everyday speech as opposed to the more formal Latinate verbs, such as “to get together” rather than “to congregate”, “to put off” rather than “to postpone”, or “to get out” rather than “to exit”.

Literal usage

Many verbs in English can be combined with an adverb or a preposition, and readers or listeners will easily understand a phrasal verb used in a literal sense with a preposition:

"He walked across the square."

Verb and adverb constructions can also easily be understood when used literally:

"She opened the shutters and looked outside."

"When he heard the crash, he looked up."

An adverb in a literal phrasal verb modifies the verb it is attached to, and a preposition links the subject to the verb.

Phrasal verb patterns

A phrasal verb contains either a preposition or an adverb (or both), and may also combine with one or more nouns or pronouns.

1. Particle verbs

Phrasal verbs that contain adverbs are sometimes called "particle verbs", and are related to separable verbs in other Germanic languages. There are two main patterns: intransitive and transitive. An intransitive particle verb does not have an object:

“When I entered the room he looked up.”

A transitive particle verb has a nominal object in addition to the adverb. If the object is an ordinary noun, it can usually appear on either side of the adverb, although very long noun phrases tend to come after the adverb:

Switch off the light.

Switch the light off.

Switch off the lights in the hallway next to the bedroom the president is sleeping in.

With some transitive particle verbs, however, the noun object must come after the adverb. Such examples are said to involve "inseparable" phrasal verbs:

The gas gave off fumes. (not *The gas gave fumes off.)

Still other transitive particle verbs require the object to precede the adverb:

They let the man through. (not *They let through the man.)

With all transitive particle verbs, if the object is a pronoun, it must normally precede the adverb:

Switch it off. (not *Switch off it.)

The gas gave them off. (not *gave off them)

They let him through. (not *let through him)

2. Prepositional verbs

Prepositional verbs are phrasal verbs that contain a preposition, which is always followed by its nominal object. They are different from inseparable transitive particle verbs, because the object still follows the preposition if it is a pronoun:

On Fridays, we look after our grandchildren.

We look after them. (not *look them after)

The verb can have its own object, which usually precedes the preposition:

She helped the boy to an extra portion of potatoes.

with pronouns: She helped him to some.

Prepositional verbs with two prepositions are possible:

We talked to the minister about the crisis.

3. Phrasal-prepositional verbs

A phrasal verb can contain an adverb and a preposition at the same time. Again, the verb itself can have a direct object:

no direct object: The driver got off to a flying start.

direct object: Onlookers put the accident down to the driver’s loss of concentration.

Single-word verb

Look

Direct your eyes in a certain direction

You must look before you leap.

multi-word verbs

Prepositional verbs

Look after

Take care of

Who is looking after the baby?

Phrasal verbs

Look up

Search for and find information in a reference book

You can look up my number in the telephone directory

Phrasal-prepositional verbs

Look forward to

Anticipate with pleasure

I look forward to meeting you.

Phrasal verbs and modifying adverbs

When modifying adverbs are used alongside particle adverbs intransitively (as particle adverbs usually are), the adverbs can appear in any verb/particle/adverb positions:

“He unhappily looked round.”

“He looked unhappily round.”

“He looked round unhappily.”

The particle adverb here is "round" and the modifying adverb is "unhappily". ("Round" is a particle because it is not inflected — does not take affixes and alter its form. "Unhappily" is a modifying adverb because it modifies the verb "look").

With a transitive particle verb, the adverb goes either before the verb of after the object or particle, whichever is last:

“He cheerfully picked the book up.”

“He picked up the book cheerfully.” (not *picked cheerfully up the book)

“He picked the book up cheerfully.”

Prepositional verbs are different from transitive particle verbs, because they allow adverbs to appear between the verb and the preposition:

“He cheerfully looked after the children.

“He looked after the children cheerfully.

“He looked cheerfully after the children.

SEQUENCES

Quarter

One clue lyin’ inside my head

it’s not true

it spines cleaving my eye into two

steppin’ among hair making a fence

fallin’ into my imagination

Half

A dozen herons mess up one clue

It’s not a clue

Clues

Become hurricane stabbing between two lungs

Breathing is not completely breath

But my ten fingers absorb the fluid

One

It’s only one

No fence and hurricane

Just clue the only one

No dice

(sayid)

Mei 09, 2008

Wind by Akeboshi (OST NARUTO)

Cultivate your hunger before you idealize.
Motivate your anger to make them all realize.
Climbing the mountain, never coming down.
Break into the contents, never falling down.
 
My knee is still shaking, like I was twelve,
Sneaking out of the classroom, by the back door.
A man railed at me twice though, but I didn't care.
Waiting is wasting for people like me.
 
Don't try to live so wise.
Don't cry 'cause you're so right.
Don't dry with fakes or fears,
'Cause you will hate yourself in the end.
 
(Repeats)
You say, "Dreams are dreams.
"I ain't gonna play the fool anymore."
You say, "'Cause I still got my soul."
 
Take your time, baby, your blood needs slowing down.
Breach your soul to reach yourself before you gloom.
Reflection of fear makes shadows of nothing, shadows of nothing.
 
You still are blind, if you see a winding road,
'Cause there's always a straight way to the point you see.
 
Don't try to live so wise.
Don't cry 'cause you're so right.
Don't dry with fakes or fears,
'Cause you will hate yourself in the end.
(Repeats)

(sayid_it's my fav song)