Desember 24, 2008

UNTUK KU: yang tidak pernah melihat jalannya

Untuk Mustaqim

meski langit sudah mengadah, dan

hamparan tanah menganga

setidaknya,

bangku – bangku kosong tetap mencari

jentik jemari mu untuk singgah semestinya

setelah sudah, maupun

sebelum kini.

Untuk Yeni

tahu?

pejantan merak pemilik bulu terindah?

dari gumpalan kepercayaan yang berbalik 360 derajat

tanpa siku,

tanpa sudut yang menyatakan bahwa aku adalah saya

meski dari poros,

setidaknya,

slot – slot kosong di rongga matamu, tetap

mengisi boklam 1 watt

untuk yakin

untuk melodi yang tidak akan pernah diaransement

Untuk Maya

tidak banyak

pola – pola yang diselubungi sekat transparan

dari celah kata

dari retakan sikap yang kasat mata

meski asap hitam jarang menelusuri pipa atap rumah

setidaknya,

awan putih tidak sembarangan meraupi

bulir air, ataupun

jernihnya nalar di belakang punggungmu.

Untuk Madkur

kerap kali

ku titi lidah

ku resapi tingkah

dalam sisi mata uang yang tidak pernah berubah

untuk meninggikan pondasi

bias dari tenangnya kubangan diri,

meski kokoh

tanpa serat –serat prasangka

tanpa dugaan yang ternyata

bergeser satu senti dari caganya

setidaknya,

empedu tetap pahit

jantung tetap segenggam tangan

dalam yakin mu

lusuh pada bilasan terakhir.

Untuk Etika

kutemukan

sekuntum bunga matahari di kerumunan ilalang

tunggal

tanpa batang – batang yang menguning, ataupun

rintihan di ujung purnama

meski miris,

dalam kurun,

kelopak mu kan sejajar

setidaknya,

atap tak kan berasa saing di jalan

untuk pelanggaran di nisan emosi

hanya keras mu

bahkan rapuh mu.

Untuk Karmawan

terdengar

kocokan adonan kue di teras belakang

tambah mentega, dan

mengembang dalam pemanggang yang,

tertumpu di pantul jendela,

untuk cermin,

untuk laparnya lambung

meski setengah porsi,

setidaknya,

tapak mu berbagi,

di atas kerikil hitam

di belakang pagar, rimbun

benih mawar merah.

Untuk Dzulhan

sempat terbesit

lakon yang tak pernah sejajar

akan Arjuna dan Rahwana

dalam kesekian kalinya

tanpa script

bukan dalam improvisasi, namun

hanya deskripsi yang mungkin tak kunjung sama

setidaknya,

goresan pena menuntun

tak kan pudar,

tak kan membaris paragraph,

untuk lanjut

untuk mendua tanpa usai.

Untuk Siswati

tiap kayuh

tunjuk cemas seakan membungkus

tiap lirik mata yang gagap, juga

ingin yang tetap tertata di kotak kecil mu,

untuk nanti,

untuk hasrat yang jarang bertepi,

meski lamban,

tanpa tumpuan di sisi pundak,

setidaknya,

jerujimu,

tetap menjaga bulatnya roda,

sekarang,

jua sekarang.

Untuk Lily

ingat,

bisingnya dengkuran kucing

tak terhampiri luapan tawa

meski gembira,

meski sedih, ataupun

rendahnya plaket yang sekalipun tak diterima

akan jauh,

akan tertimbun di memori lama,

setidaknya,

dalam singgung,

pencernaan yang tak selamanya utuh,

kini,

angin malam sempat berteduh

membisiki kelamnya pagi hari.

Untuk Tantri

hanya saja,

anggap yang tak selalu terekam

puing yang jarang terpasang

karna butiran, bahkan

laguna yang terpisah dari lautan

meski fakta mu

melebihi lapisan sungging terekat padat

setidaknya,

satu fase layak terlewati

untuk paham mu

hinggap di rentan batas mu.

Untuk Dian

kenapa tidak,

menggigit daging dengan gerahammu

mungkin sedikit berbeda,

antara rasa dan usaha,

dari rajut yang tak pernah terurai, nantinya

keningmu kan merengut

menjelajahi dimensi yang tak hinggap

setidaknya,

dengan kunci di kelingkingmu

kau tahu,

ada batasan yang membuka, baik

dalam mu,

di saat ungkapmu.

Untuk Yusi

saat sadar,

merpati coba tuk keluar dari sangkarnya,

meski terbuka,

tipuan tetap saja bersilat,

untuk tubuh yang tak lagi berbaris,

dengan tali,

setidaknya,

anganmu menunjuk arah,

membatasi ruang yang tak lagi sempit,

diri mu

dengan harga mu.

Untuk Anita

tidak ada,

kesan yang mengundang dalam nostalgia sempat,

untuk hal yang mungkin tak lagi terungkap

jadi ini,

kau pun seserahan dalam runtuhnya hujan,

untuk tetap,

meski sedikit,

setidaknya,

peron – peron tahu, kapan

kereta kan berkunjung di sempat waktu.

Untuk Diriku

meski hanya bermain kembang api,

akhirnya terbakar juga,

meski hanya bermain cipratan air,

akhirnya basah kuyup juga,

meski hanya ragu tak berharga menyusup di cerobong nalar ini,

akhirnya jatuh juga, dan

dari sejuta ungkapan yang sudah dipelajari,

akhirnya paham juga,

tentang malam, dan

siang hari yang tak tergantikan,

oleh jamah, bukan

sembari yang tak penting di telusuri akan silsilah waktu,

dan dari durjana yang meresapi poripori nista ini,

semoga dalam senyap ini,

semua kan menjadi metamorfosa,

bukan prematur.

De_souza

Metro, 21 Desember 2008

1 komentar:

  1. Aq adalah saya
    tumpuan poros itu kadang bergoyang
    namun..
    semua butuh waktu
    yang bukan sejumlah waktu
    untuk mu..
    yang tidak pernah melihat jalanmu
    setidaknya
    langkah-langkah kecil
    kelinci putih
    memahami garis kakimu
    terus,,
    tahu?
    bukan...

    BalasHapus