Judul Buku
|
:
|
Babu Rasa Mantu: Lovely Servant
|
Penulis
|
:
|
Huren Nahla (Nama Pena)
|
Penerbit
|
:
|
CV. Biru Magenta Media
|
Cetakan
|
:
|
Ke I, Oktober 2019
|
Tebal
|
:
|
Vi+258 hlm
|
ISBN
|
:
|
978-623-7363-72-9
|
Romansa identik dengan potret aktualisasi cinta insan beragam yang dibangun dengan imajinasi ataupun pengalaman si penulis. Kebodohan Romeo1 yang menelantarkan kesempatan hidup lebih lama di tengah konflik keluarga berbeda demi Juliet ataupun keagungan ego Barman2 terhadap Popi semata demi keabstrakan yang samar merupakan manifestasi dari apa yang disebut “cinta”. Namun, apakah cinta semata narasi tentang kebodohan dan keegoisan? Kedua hal tersebut merupakan elemen yang meretas cinta menjadi hidup. Kepiawaian penulis dalam menyulam masing-masing elemen menjadikan romansa seolah dialami oleh pembaca. Namun, adakalanya penulis memeras fikir pembaca untuk mensugesti diri mereka bahwa mereka adalah tokoh dalam cerita itu. Adakalanya juga pembaca harus menilik kembali beberapa alur cerita untuk menemukan benang merah lakon yang digambarkan. Hal ini juga didapati pada novel “Babu Rasa Mantu: Lovely Servant”.
Alinea pertama dalam novel ini menggariskan satu pernyatan yang menyentak: “Karena kamu yang memulai, kamu juga yang harus mengahiri” (hal. 1) seolah di awal akan disajikan satu problema yang besar untuk mengawali jalinan ceritanya. Itu bagus. Tapi nyatanya pernyataan nyonya Zoya ini terkesan gimmick. Tak ada guratan cerita yang mencoba mendeskripsikan kejadian ini. Apa yang diperbuat oleh Riska sehingga Dinar yang terkena imbas masih menjadi misteri. Padahal, jika si penulis menguraikannya dengan lebih detail, prologue novel ini akan mengawali ceritanya dengan latar belakang masalah yang apik sehingga pembaca tak perlu menerka perkara yang memaksa Dinar menggantikan tugas Pak De membawa makanan ke kamar Aksal.
Dinar merupakan protagonist dalam novel ini. Remaja 21 tahun yang hanya lulusan SMA bergelut dengan kemiskinan dan bercita menjadi seorang dokter. Apalah daya kondisi keluarganya menjadikannya seorang “babu” yang pada akhirnya mempertemukannya dengan Aksal, anak sematang wayang Nyonya Zoya yang lumpuh sementara dikarenakan sebuah kecelakaan yang dialami dan hal itu membuatnya depresi berkepanjangan. Sayangnya, tokoh Dinar tidak digambarkan secara nyata oleh penulis. Akan sangat kesulitan untuk mengimajinasikan lekuk tubuhnya, rambutnya, warna kulitnya, bentuk matanya, hidungnya, ataupun pakaian yang dikenakan. Hanya ada beberapa detail yang diberikan penulis. “Segera aku menurunkan tangan dan menyadari dua kancing kemeja terbuka dan memamerkan sebagian dada (hal. 54)”. Ya, hanya kemeja berkancing saja yang dibubuhkan penulis untuk mencitrakan Dinar sebelum timeskip (ellipsis). Setelah timeskip-pun tidak digambarkan perubahan baik fisik ataupun penampilan dari Dinar, hanya “… merapikan kembali tunik merah maroon dan pashmina merah mudah motif melati yang membingkai wajah. (hal. 181)”. Itu saja. Perubahan Dinar dalam kurun waktu 5 tahun pastinya mengalami perbedaan fisik dan penampilan apalagi disaat itu Dinar merupakan seorang remaja yang beranjak dewasa. Sangat disayangkan sekali penggambaran Dinar sebagai tokoh utama dalam novel ini seolah diabaikan oleh penulis. Padahal, penggambaran tokoh Dinar sangat membantu pembaca mengikuti alur cerita seolah tokoh Dinar bertengger dalam imajinasi mereka. Selain itu, sangat sulit menerka watak dari masing-masing tokoh dalam novel ini. Misalnya saja Dinar yang merupakan seorang gadis desa yang baru saja berpindah ke kota. Polos. Santun. Sepertinya tidak. Atau mungkin benar. Sulit menerka watak dari tokoh utama novel ini. Di beberapa bagian penulis mewatakkan Dinar sebagai gadis desa yang polos, santun, religious, cerdas tetapi di beberapa bagian lain dia diwatakkan sebagai gadis yang suka mengumpat, genit, dan tidak berpendidikan. “Anu, Mas. Di mana, ya, aku bisa beli ponsel? (hal. 61)” baris ini menewarnai tokoh Dinar sebagai seorang gadis ‘bodoh’ yang tidak tahu tempat untuk membeli handphone. Ini kontras sekali dengan hobi yg digoreskan oleh penulis untuk tokoh Dinar saat menjawab pertanyaan Askal tentang buku yang Dinar suka baca: “Saya dulu bacanya buku-buku karya Andrea Hirata, Asma Nadia … begitulah, Tuan. Kisah cinta pendiri Taj Mahal di India juga pernah kubaca (hal. 92)”. Ketidak konsistensian penulis dalam mewatakkan tokoh utama ini seharusnya bisa dihindari dengan penggambaran sosok Dinar di awal cerita dan perubahan watak berdasarkan latar dan alur ceritanya sehingga di akhir novel ini tidak terlihat perubahan watak Dinar sebagai tokoh utama.
Terlepas dari itu semua, novel ini sangat layak untuk dibaca dikarenakan penulis menarasikan romansa ini dengan jelas, menggunakan alur maju dengan sangat baik berfokus pada perjalanan asmara dua tokoh utama, Dinar dan Aksal. Fragmen-fragmen ceritanya dipadukan dengan selaras sehingga tidak ada jalinan cerita yang terputus. Konflik-konflik kecil dimunculkan dengan rapi membangun cerita tanpa merusak inti cerita. Perselingkuhan Nyonya Zoya dan Mas Aryo atau kecemburan Riska sama sekali tidak merubah haluan alur cerita. Bahasa yang digunakan penulis dalam novel ini sederhana, tidak bertele-tele ataupun banyak menggunakan majas, analogi, atau technical words.
Satu hal yang sangat menarik dari novel ini adalah adanya kalimat pengantar di beberapa bab seperti “Apa yang lebih menyakitkan dari mencintai sendiri, merasa sakit sendiri. Merasa kehilangan tanpa pernah memiliki”.
1 Romeo and Juliet karya William Shakespeare
2 Khutbah di Atas Bukit karya Kuntowijoyo
Catatan:
Tidak pernah menduga seorang sahabat yang bertahun tidak berjumpa menghasilkan sebuah karya novel “Babu Rasa Mantu: Lovely Servant”. Saya pribadi sangat senang, iri, dan bangga sekali atas produktifitas sahabatku ini, dibandingkan saya yang tiap hari kerjanya di kamar: tidur, main game, dan makan. Empat jempol deh. Harus selalu semangat ya dalam menulis. Ditunggu karya-karya selanjutnya.
Resentator
M. Sayid Wijaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar